REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Iran memiliki stok uranium yang diperkaya hampir dua kali lipat dalam waktu kurang dari sebulan. Peningkatan ini terjadi ketika Iran bersiap untuk melanjutkan pembicaraan dengan kekuatan dunia tentang pembatasan program nuklirnya.
“Kami memiliki lebih dari 210 kilogram uranium yang diperkaya hingga 20 persen, dan kami telah memproduksi 25 kilogram pada 60 persen, tingkat yang tidak dapat diproduksi oleh negara selain mereka yang memiliki senjata nuklir,” kata juru bicara Organisasi Energi Atom Iran (AEOI), Behrouz Kamalvandi, dikutip kantor berita negara IRNA pada Rabu (3/11).
Teheran semakin mengabaikan komitmennya terhadap kesepakatan nuklir 2015 atau Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) sejak Amerika Serikat (AS) keluar secara sepihak pada 2018. Ketika itu, pemerintahan AS di bawah kepemimpinan mantan Presiden Donald Trump menjatuhkan sanksi baru terhadap Iran atas program nuklirnya.
Pada September, Badan Energi Atom Internasional mengonfirmasi Iran telah meningkatkan stok uranium yang diperkaya di atas persentase yang diizinkan dalam kesepakatan JCPOA. Pada 10 Oktober, kepala AEOI Mohammad Eslami mengatakan Iran telah memproduksi lebih dari 120 kilo uranium yang diperkaya 20 persen.
Secara teori peningkatan ini memungkinkan pembuatan isotop medis yang digunakan dalam mendiagnosis kanker tertentu. Iran tidak akan memperkaya uranium di atas 3,67 persen atau jauh di bawah ambang batas 90 persen yang diperlukan untuk senjata nuklir.
Perjanjian 2015 atau JCPOA ditandatangani oleh Inggris, China, Rusia, Prancis, Jerman dan AS. Kesepakatan itu menawarkan Iran beberapa keringanan sanksi sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya. Iran selalu bersikeras program nuklirnya digunakan untuk tujuan damai.