REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Kepala Mekanisme Investigasi Independen untuk Myanmar, Nicholas Koumjian, menyatakan, bukti awal yang dikumpulkan sejak militer merebut kekuasaan pada 1 Februari 2020 menunjukkan serangan yang meluas dan sistematis terhadap warga sipil. Hasil itu menunjukkan tindakan militer merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
"Sehingga suatu hari mereka yang paling bertanggung jawab atas kejahatan internasional yang serius di Myanmar akan dimintai pertanggungjawaban," ujar Koumjian.
Koumjian mengatakan, para penyelidik melihat pola kekerasan dengan tanggapan terukur oleh pasukan keamanan terhadap demonstrasi dalam enam minggu pertama atau lebih setelah pengambilalihan militer. Kemudian, terjadi peningkatan kekerasan. Selain itu, juga banyak lagi dengan metode yang lebih kejam digunakan untuk menekan para demonstran.
"Ini terjadi di tempat yang berbeda pada saat yang sama, menunjukkan kepada kami bahwa logis untuk menyimpulkan ini dari kebijakan pusat," kata Koumjian.
"Dan kami melihat kelompok-kelompok tertentu menjadi sasaran, terutama untuk penangkapan dan penahanan yang tampaknya tanpa proses hukum. Dan ini termasuk, tentu saja, jurnalis, pekerja medis, dan lawan politik," ujarnya.
Koumjian mengatakan, timnya telah mengumpulkan bukti dari berbagai sumber termasuk individu, organisasi, bisnis dan pemerintah. Bukti termasuk foto, video, kesaksian dan posting media sosial yang mungkin relevan untuk menunjukkan bahwa kejahatan terjadi dan siapa yang bertanggung jawab untuk kejahatan itu.
"Kami mulai terlibat dengan Facebook segera setelah kami buat pada 2019 dan mereka telah bertemu dengan kami secara teratur. Kami telah menerima beberapa, tetapi tentu tidak semua, yang kami minta. Kami terus bernegosiasi dengan mereka dan sebenarnya, saya berharap kami akan menerima lebih banyak informasi," kata Koumjian.