Sebanyak 23 negara sepakat mengurangi konsumsi batu bara menjelang berakhirnya KTT Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, pekan lalu. Mereka antara lain Indonesia, Polandia dan Vietnam. Komitmen tersebut merupakan hasil dari strategi negosiasi COP26, yang sejak awal menghindari perjanjian kolosal, dan sebaliknya menciptakan kesepakatan-kesepakatan kecil antarnegara untuk mencapai sasaran iklim.
"Hari ini kita bisa mengatakan bahwa akhir energi batu bara sudah mulai terlihat," kata Presiden COP26, Alok Sharma, seusai ratifikasi di Glasgow, Kamis (4/11). "Saya rasa Anda bisa mengatakan dengan yakin bahwa batu bara bukan lagi raja," imbuhnya.
Dalam perspektif masa depannya itu, Sharma tidak melibatkan negara-negara yang selama ini paling banyak mengonsumsi batu bara. Mereka menolak menandatangani kesepakatan tersebut, karena dinilai mengancam sejumlah industri kunci.
Pada 2020, Cina tercatat mengonsumsi 54,3 persen batu bara di dunia. Adapun India berada di urutan kedua dengan 11,6 persen. Amerika Serikat yang juga menolak ratifikasi, menyerap sebesar 6,1 persen kapasitas batu bara dunia.
Batu bara berdaya rusak tinggi karena menciptakan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar dan sebabnya dianggap mengancam sasaran iklim global. Perjanjian di Glasgow mengikat negara peserta untuk mengakhiri konsumsi batu bara untuk produksi listrik pada dekade 2030-an. Mereka juga berkomitmen menghentikan investasi batu bara di dalam dan luar negeri.
Implementasi bergantung pembiayaan
Meski gagal melibatkan China, India, dan AS, kesepakatan tersebut tetap disambut positif pengamat dan pegiat iklim. Antony Froggatt dari wadah pemikir Chatham House di London, Inggris, mengatakan, sejumlah hal "yang absen" dalam kesepakatan tersebut sama "mencoloknya seperti apa yang baru."
"Kesepakatan ini menggarisbawahi betapa besarnya ketimpangan dalam transisi menuju energi bersih di seluruh dunia," kata dia kepada Reuters.
Komitmen itu sendiri tidak mengikat. Sejumlah negara, termasuk Indonesia, juga sudah mengumumkan tidak akan mampu mencapai sasaran tanpa bantuan keuangan dari negara lain.
"Kita membutuhkan biaya untuk memensiunkan batu bara dan membangun kapasitas baru untuk energi terbarukan," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, Rabu (3/11).
KTT Iklim di Glasgow sejauh ini sudah menyepakati dana untuk membiayai penutupan pembangkit batu bara senilai 20 miliar dolar AS, klaim tuan rumah Inggris. London berharap COP26 mampu menghasilkan komitmen lebih nyata untuk membatasi kenaikan suhu global rata-rata 1,5 derajat Celcius sejak awal zaman industrialisasi.
Untuk mencapainya, semua negara di dunia harus mampu mencapai status nol karbon pada tahun 2050.
Miskin demi batu bara
Hingga hari terakhir, COP26 sudah berhasil menghasilkan kesepakatan untuk mengakhiri konsumsi batu bara, deforestasi atau emisi gas metana. Tapi belum jelas bagaimana komitmen sukarela itu akan diimplementasikan masing-masing negara.
Kebutuhan energi yang besar untuk menopang pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang menuntut kerja sama yang lebih erat dalam energi terbarukan. Sebab itu pula absennya China, India dan Amerika Serikat melemahkan upaya mereduksi energi batu bara secara global.
Di sela-sela KTT Iklim, pegiat lingkungan memberikan penghargaan "Fosil Hari ini" kepada pemerintah Polandia lantaran mengendurkan komitmennya mengurangi konsumsi batu bara.
Climate Action Network, organisasi payung bagi lusinan lembaga konservasi di dunia, mengritik Warsawa karena mendeklaraskan diri sebagai negara miskin untuk bisa menunda penghentian energi batu bara hingga 2049.
Sehari sebelumnya, giliran AS yang mendapat penghargaan tersebut, lantaran meresmikan paket kebijakan iklim yang ditengarai hanya menguntungkan perusahaan besar, ketimbang petani atau peternak kecil.
rzn/ts (ap,rtr)