Sejak awal November 2020, Pemerintah Etiopia dan pasukan Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) telah baku tembak dalam konflik yang merenggut ribuan nyawa dan menyebabkan lebih dari 400 ribu orang kelaparan, menurut PBB baru-baru ini.
Di tengah ketegangan yang terus berlanjut, orang-orang semakin khawatir TPLF bisa segera mencapai Addis Ababa. Dalam beberapa hari terakhir, terjadi peningkatan penangkapan warga Tigrayan di ibu kota.
Siapa sebenarnya pejuang Tigray?
Pada pertengahan 1970-an, sekelompok kecil milisi mendirikan TPLF. Dengan ideologi nasionalis sayap kiri, mereka bersumpah memperjuangkan hak-hak Tigrayan, kelompok etnis yang relatif kecil yang hanya berjumlah 5 persen dari populasi, dan telah lama terpinggirkan oleh pemerintah pusat.
Sepanjang 1980-an TPLF muncul sebagai penantang tangguh kediktatoran militer Marxis di Etiopia. Kelompok itu akhirnya memimpin aliansi organisasi milisi, Front Demokratik Revolusioner Rakyat Etiopia (EPRDF), yang menggulingkan rezim yang didukung Uni Soviet pada 1991.
Aliansi itu kemudian mulai menjalankan Etiopia di bawah sistem federal. TPLF memegang kekuasaan atas kelompok lain dan mendominasi politik selama hampir tiga dekade.
Pemimpin Tigrayan, Meles Zenawi, adalah presiden transisi Etiopia dari 1991 hingga pemilihan umum yang diperebutkan dengan buruk pada 1995, ketika dia terpilih sebagai perdana menteri. Dia memerintah Etiopia sampai kematiannya pada 2012, dan digantikan Hailemariam Desalegn. Selama waktu ini, pertumbuhan ekonomi Etiopia membaik, tetapi pemerintah menekan perbedaan pendapat.
Pemerintah EPRDF memimpin negara itu dan menghadapi tantangan kekeringan dan kelaparan berkala, dan perang perbatasan 1998-2000 dengan Eritrea. Hak asasi manusia memburuk selama periode ini. Kelompok-kelompok oposisi mengeluhkan penganiayaan dan korupsi yang memicu ketidakpuasan publik yang meningkat.
Terpilihnya Abiy Ahmed sebagai PM Etiopia
Pada awal 2018, setelah beberapa tahun seringnya protes antipemerintah dari berbagai kelompok etnis telah merusak legitimasi pemerintah EPRDF, Hailemariam mengundurkan diri. EPRDF memilih Abiy Ahmed, dari kelompok etnis Oromo, sebagai penggantinya dan dia segera terpilih sebagai perdana menteri.
Abiy seorang politikus non-Tigrayan yang memiliki ikatan yang tak begitu kuat dengan TPLF, menikmati popularitas yang meluas. Dia menggulingkan banyak pejabat Tigrayan, menuduhkan serangkaian korupsi dan memperkenalkan beberapa reformasi politik yang mengesampingkan TPLF.
Pada akhir 2019, Abiy membubarkan pemerintahan koalisi EPRDF dan bergerak membentuk Partai Sejahtera (PP). TPLF yang menolak untuk bergabung dengan kelompok itu, pindah kembali ke kubunya.
Setelah pemilihan umum 2020 tertunda akibat pandemi COVID-19, TPLF dan beberapa pemimpin oposisi lainnya menuduh Abiy menunda pemungutan suara untuk tetap berkuasa.
Meskipun ada penundaan, pejabat di wilayah Tigray tetap melanjutkan pemilihan kepala daerah pada September 2020. Sebulan kemudian, pemerintah federal mulai menahan dana dari pemerintah daerah.
Baku tembak sejak awal November 2020
Pada awal November 2020, pasukan TPLF dituduh menyerang dan menjarah pangkalan militer federal di wilayah tersebut. Abiy memulai kampanye militer di wilayah Tigray, yang dikenal sebagai Operasi Penegakan Hukum, dan berjanji akan segera mengalahkan para pejuang TPLF.
Tetapi sejak Juni 2021, tentara Etiopia terus mengalami kemunduran dan terpaksa mundur dari Tigray. Sekarang garis depan semakin dekat ke Addis Ababa, dengan perdana menteri menyerukan warga untuk siap mempertahankan ibu kota.
Para pemberontak Tigray mungkin berada di atas angin, tetapi menaklukkan Addis Ababa tidak akan mudah. Mereka kemungkinan akan menghadapi perlawanan dari orang Etiopia lainnya yang takut akan kembalinya kekuasaan partai yang memerintah negara itu selama hampir tiga dekade. (pkp/vlz)