REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Peneliti keamanan Frontline Defenders mengungkapkan spyware dari perusahaan peretas terkenal Israel NSO Group terdeteksi di ponsel enam aktivis hak asasi manusia (HAM) Palestina. Setengah korban peretasan berafiliasi dengan kelompok yang secara kontroversial diklaim oleh Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz terlibat dalam terorisme.
Peneliti yang pertama kali mendeteksi Pegasus di ponsel aktivis Palestina, Mohammed al-Maskati, menyatakan masih tidak jelas siapa yang menempatkan spyware NSO itu. Namun, peretasan dimulai pada Juli 2020. Frontline Defenders menyatakan tiga orang Palestina yang diretas bekerja untuk kelompok masyarakat sipil. Sedangkan sisa lainnya tidak dan ingin tetap anonim.
Temuan forensik dari Frontline Defenders pun dikonfirmasi secara independen oleh peneliti keamanan dari Amnesty International dan Citizen Lab Universitas Toronto dalam laporan teknis bersama. Laporan ini menyatakan empat dari enam iPhone yang diretas secara eksklusif menggunakan kartu SIM yang dikeluarkan oleh perusahaan telekomunikasi Israel dengan nomor kode area +972 Israel.
Peneliti Citizen Lab dan Amnesty mempertanyakan klaim oleh NSO Group bahwa versi Pegasus yang diekspor tidak dapat digunakan untuk meretas nomor telepon Israel. NSO Group juga mengatakan tidak menargetkan nomor AS.
Salah satu aktivis yang diretas adalah Ubai Aboudi, seorang ekonom berusia 37 tahun dan warga negara AS. Dia menjalankan Pusat Penelitian dan Pengembangan Bisan yang beranggotakan tujuh orang di Ramallah, di Tepi Barat yang diduduki Israel, salah satu dari enam kelompok yang ditampar Gantz dengan sebutan teroris pada 22 Oktober.
Sedangkan dua warga Palestina lainnya yang diretas yang setuju disebutkan namanya adalah peneliti Ghassan Halaika dari kelompok hak asasi Al-Haq dan pengacara Salah Hammouri dari Addameer yang merupakan sebuah organisasi HAM.
Al-Maskati mengatakan pertama kali diberitahu pada 16 Oktober oleh Halaika yang ponselnya dipastikan telah diretas pada Juli 2020. Al-Haq terlibat dalam komunikasi sensitif dengan Pengadilan Kriminal Internasional yang melibatkan dugaan pelanggaran HAM.
"Sebagai pembela hak asasi manusia yang hidup di bawah pendudukan, kami berharap itu adalah pendudukan (Israel),” kata Halaika ketika ditanya siapa yang berada di balik peretasan tersebut.
Sedangkan Hammouri tampaknya telah diretas pada April. Dia adalah seorang warga negara Prancis ganda yang tinggal di Yerusalem. Dia menolak untuk berspekulasi siapa yang berada di balik peretasan tersebut. "Kita harus menentukan siapa yang memiliki kemampuan dan siapa yang memiliki motif," katanya.
Aboudi mengatakan telah kehilangan rasa aman melalui peretasan telepon yang tidak manusiawi. Dia menuturkan istrinya selama tiga malam pertama setelah mengetahui peretasan tidak tidur karena memiliki gangguan pikiran yang begitu dalam ke privasi.