REPUBLIKA.CO.ID, KOPENHAGEN -- European Environment Agency (EEA), pada Senin (15/11), mengungkapkan, kematian dini yang disebabkan polusi udara partikel halus mencapai 307 ribu jiwa per tahun. Meski tinggi, angka itu telah turun 10 persen persen setiap tahun di seluruh Benua Biru.
EEA mengatakan, polusi udara tetap menjadi ancaman lingkungan terbesar bagi kesehatan manusia di Eropa. Penyakit jantung dan stroke menyebabkan sebagian besar kematian dini akibat polusi udara. Hal itu diikuti penyakit paru-paru, termasuk kanker.
Pada anak-anak, polusi udara dapat membahayakan perkembangan paru-paru, menyebabkan infeksi pernapasan, dan memperburuk asma. “Investasi pada pemanasan, mobilitas, pertanian dan industri yang lebih bersih, meningkatkan kesehatan serta kualitas hidup semua orang Eropa,” kata Direktur EEA Hans Bruynick.
Menurut EEA, jika pedoman kualitas udara dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diikuti semua anggota Uni Eropa, jumlah kematian terbaru akibat polusi yang tercatat pada 2019 dapat berkurang separuhnya. Menurut EEA, pada September lalu, sebagian besar negara Uni Eropa masih berada di atas batas polusi yang direkomendasikan, baik itu pedoman Eropa atau target WHO yang lebih ambisius.
Uni Eropa ingin memangkas kematian dini akibat polusi udara setidaknya 55 persen pada tahun 2030 dibandingkan dengan tahun 2005. Jika polusi udara terus turun pada tingkat saat ini, EEA memperkirakan target akan tercapai pada 2032. Namun populasi yang menua dan semakin urban bisa membuat itu lebih sulit.
"Populasi yang lebih tua lebih sensitif terhadap polusi udara dan tingkat urbanisasi yang lebih tinggi biasanya berarti lebih banyak orang yang terpapar konsentrasi PM 2.5, yang cenderung lebih tinggi di kota-kota," kata EEA dalam laporannya.
Menurut WHO, polusi udara menyebabkan 7 juta kematian dini setiap tahunnya di seluruh dunia. Angka itu menyamai kematian akibat rokok dan pola makan yang buruk.