REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Kinerja ekspor Indonesia ke China untuk Januari-September 2021 melonjak dibandingkan dengan tahun sebelumnya dalam periode yang sama. Data Kepabeanan China menyebutkan, total nilai perdagangan Indonesia dengan China periode Januari–September mencapai nilai tertinggi dalam kurun waktu 20 tahun kerja sama perdagangan dua negara.
“Indonesia saat ini dapat mempertahankan posisinya di peringkat ke-4 sebagai negara pengekspor terbesar ke China di antara negara anggota ASEAN lainnya,” kata Duta Besar (Dubes) RI untuk China dan Mongolia, Djauhari Oratmangun, dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Rabu (17/11).
Pertumbuhan perdagangan kedua negara tumbuh 52.8 persen, dibandingkan capaian tahun lalu dalam periode yang sama. Nilai tersebut mencapai 85,3 miliar dolar Amerika Serikat (AS).
“Yang cukup menggembirakan, di antara seluruh negara mitra sebagai eksportir ke China, posisi Indonesia naik satu peringkat dibandingkan 2020. Sebelumnya kita ada di posisi ke-14, saat ini kita ada di posisi ke-13, semoga dengan kerja keras bersama, diharapkan sampai akhir 2021, data Kepabeanan China akan menunjukkan total nilai perdagangan kita bisa mencari 100 miliar dolar AS dengan surplus pada Indonesia,” ujar Djauhari.
Nilai ekspor Indonesia ke China tercatat mencapai 42,8 miliar dolar AS, tumbuh 59.7 persen dibandingkan dengan total nilai ekspor Indonesia ke China tahun 2020 dalam periode yang sama. Sementara nilai impor Indonesia dari China dalam periode ini juga tumbuh positif sebesar 46.5 persen atau mencapai 42,5 miliar dolar AS dibandingkan total nilai impor tahun lalu.
“Untuk periode Januari – September 2021, data Kepabeanan Tiongkok menunjukkan nilai defisit Indonesia terhadap China turun hingga 109.2 persen, menghasilkan surplus bagi Indonesia sebesar 208,1 juta dollar AS,” tambah Marina Novira, Atase Perdagangan KBRI Beijing.
Adapun produk unggulan dan potensial Indonesia dalam periode ini yang mengalami peningkatan nilai ekspor signifikan di atas 60 persen dalam kode HS dua digit. Produk tersebut di antaranya, bahan bakar mineral dan produk sulingannya (HS 27) meningkat 86,7 persen, besi dan baja (HS 72) meningkat 86,2 persen, lemak dan minyak hewani atau nabati (HS 15) meningkat 118,9 persen, aneka produk kimia (HS 38) meningkat 105,1 persen, residu dan sisa dari industri makanan (HS 23) meningkat 111,1 persen.
Berikutnya, kopi, teh, mate dan rempah-rempah (HS 09) meningkat 96,6 persen, nikel dan turunannya (HS 75) meningkat 5.4645,4 persen; serat stapel buatan (HS 55) meningkat 68 persen, barang dari kulit samak, tas tangan dan sejenisnya (HS 42) meningkat 111,7 persen, produk industri penggilingan (HS 11) meningkat 3.410,7 persen, dan produk olahan yang dapat dimakan (HS 21) meningkat 72,4 persen.
Produk keramik (HS 69) meningkat 119,7 persen, olahan dari sayuran, buah, biji/kacang (HS 20) meningkat 125,3 persen,bbarang dari besi atau baja (HS 73) meningkat 75,5 persen, mutiara alam, mutiara budidaya, logam mulia (HS 71) meningkat 205,4 persen, bulu dan bulu unggas (HS 67) meningkat 102,2 persen, produk hewani (HS 05) meningkat 200,5 persen, dan olahan dari daging ikan, krustasea, moluska (HS 16) meningkat 727,7 persen. Timbal dan turunannya (HS 78) meningkat 277,4 persen, kendaraan yang bergerak diatas rel dan bagiannya (HS 86) meningkat 728,9 persen, wol, bulu hewan halus atau kasar, kain tenunan (HS 51) meningkat 251,7 persen, dan sebagainya.