REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Lebih dari separuh keluarga di Lebanon memiliki setidaknya satu anak yang kekurangan makan pada Oktober 2021. Dana anak-anak PBB (UNICEF) melaporkan, Selasa (23/11) kekurangan makanan ini terjadi di tengah "kemerosotan dramatis kondisi kehidupan".
Anak-anak sangat terpukul oleh krisis ekonomi mendalam di negara itu. Keadaan diperburuk oleh pandemi global virus corona yang telah menyebabkan sekitar delapan dari 10 orang menjadi miskin. Krisis ekonomi mengancam pendidikan sekitar 700.000 anak termasuk 260.000 anak Lebanon.
Krisis multi dimensi, yang berakar pada korupsi dan salah urus selama beberapa dekade, telah menyebabkan gangguan dalam penyediaan layanan dasar seperti listrik dan air. Hampir setengah dari rumah tangga mengalami kekurangan air minum pada Oktober 2021. Sepertiga dari mereka menyebutkan biaya membeli air minum sebagai faktor utama.
"Besarnya krisis yang mengguncang harus menjadi peringatan," kata Yukie Mokuo, perwakilan UNICEF di Lebanon.
Laporan tersebut mencatat bahwa kurang dari tiga di 10 keluarga telah menerima bantuan sosial, membuat mereka menempuh "langkah-langkah putus asa". Proporsi keluarga Lebanon yang terpaksa mengirim anak-anak untuk bekerja meningkat tujuh kali lipat menjadi tujuh persen antara April dan Oktober.
Pemerintah Perdana Menteri Najib Mikati lamban dalam mengimplementasikan program jaminan sosial. Di antara program jaminan sosial termasuk program yang didanai Bank Dunia senilai 246 juta dolar AS (Rp3,5 triliun) yang diadopsi oleh parlemen pada Maret. Selain itu ada skema kartu jatah untuk keluarga miskin senilai 556 juta dolar AS (Rp 7,9 triliun) yang didukung oleh badan legislatif pada Juni.
"Tindakan mendesak diperlukan untuk memastikan tidak ada anak yang kelaparan, sakit, atau harus bekerja alih-alih menerima pendidikan," kata Mokuo.