REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Kepemimpinan Taliban telah menetapkan sembilan aturan dan pedoman bagi media. Aturan tersebut di antaranya melarang drama televisi yang menyertakan aktor wanita dan memerintahkan presenter berita wanita mengenakan jilbab.
Juru bicara Taliban pada Selasa (23/11) mengatakan, sebagian besar aturan berpusat pada pelarangan media yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Beberapa aturan secara khusus menargetkan perempuan. Langkah ini memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat internasional. "Drama atau program televisi yang menayangkan aktris perempuan tidak boleh ditayangkan, dan jurnalis perempuan yang mengudara di televisi harus mengenakan jilbab yang Islami," ujar pedoman tersebut.
Sebagian besar wanita di Afghanistan mengenakan jilbab. Namun pernyataan Taliban bahwa, wanita harus mengenakan jilbab secara Islami, telah membuat aktivis perempuan khawatir. Mereka mengatakan, istilah 'jilbab Islami' tidak jelas dan dapat ditafsirkan secara konservatif.
Pedoman media itu menuai kritik dari pengawas hak asasi internasional Human Rights Watch (HRW). Mereka mengatakan, kebebasan media di Afghanistan semakin memburuk dengan pedoman tersebut. “Hilangnya ruang untuk perbedaan pendapat dan memburuknya pembatasan bagi perempuan di media dan seni sangat menghancurkan,” kata Direktur Asosiasi Asia di HRW, Patricia Gossman.
Sejak Taliban kembali berkuasa, mereka berkomitmen memenuhi hak-hak perempuan. Namun pada praktiknya, Taliban melarang perempuan kembali ke tempat kerja, dan tidak mengizinkan siswi sekolah menengah kembali ke kelas. Taliban juga memberlakukan ruang kelas terpisah antara perempuan dan laki-laki di universitas.
Ketika memerintah Afghanistan periode 1996-2001, Taliban memberlakukan kebijakan ketat terhadap kaum perempuan. Mereka tidak dibolehkan untuk mengenyam pendidikan dan bekerja. Bahkan, perempuan harus mengenaka burqa dan ditemani kerabat laki-laki jika keluar rumah.