Sabtu 27 Nov 2021 01:56 WIB

Mendagri Prancis Batalkan Pertemuan dengan Inggris

Pembatalan dilakukan setelah kritik PM Johnson ke Prancis terkait migran.

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berbicara kepada media mengenai tingkat infeksi COVID-19 Inggris dan kampanye vaksinasi, di Downing Street, London, Senin 15 November 2021
Foto: AP/Leon Neal/Getty Pool
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berbicara kepada media mengenai tingkat infeksi COVID-19 Inggris dan kampanye vaksinasi, di Downing Street, London, Senin 15 November 2021

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin membatalkan pertemuan untuk membahas soal migran yang dijadwalkan pada Minggu dengan rekannya Mendagri Inggris Priti Patel. Demikian dilaporkan media Prancis pada Jumat (26/11).

Pembatalan itu dilakukan setelah Perdana Menteri Boris Johnson mengkritik Prancis terkait penanganan migrasi.Kantor berita Prancis AFP mengatakan pembatalan pertemuan itu menyusul surat dari Johnson kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dikirim pada Kamis (25/11).

Baca Juga

Keputusan itu menyoroti buruknya hubungan di antara kedua negara pasca-Brexit (keluarnya Inggris dari Uni Eropa).Hal itu juga menegaskan kesulitan yang mungkin dihadapi kedua negara dalam bekerja sama untuk mengekang aliran migran setelah 27 orang tenggelam saat berusaha mencapai pantai Inggris pada Rabu (22/11).

Sebelumnya, sebanyak 17 pria, tujuh wanita, dan tiga remaja tewas ketika perahu karet kecil mereka kempis di Selat Inggris.Peristiwa itu merupakan salah satu dari banyak perjalanan berisiko dengan menggunakan perahu kecil yang kelebihan muatan oleh orang-orang yang melarikan diri dari kemiskinan dan perang di Afghanistan, Irak, dan sekitarnya.

Peristiwa kematian para migran itu memperdalam permusuhan antara Inggris dan Prancis, yang sebelumnya sudah berselisih soal aturan perdagangan dan hak penangkapan ikan pasca-Brexit. Johnson mengatakan Prancis bersalah, sementara Darmanin menuduh Inggris melakukan manajemen imigrasi yang buruk.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement