REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Sekelompok pengunjuk rasa Lebanon menerobos masuk gedung kementerian di Beirut. Dalam aksi yang digelar Jumat (26/11) pagi itu demonstran menurunkan foto presiden dari salah satu ruang utama.
Krisis finansial dan kebuntuan politik membawa Lebanon di titik terendahnya dalam beberapa dekade terakhir. Hampir satu lusin pengunjuk rasa masuk dengan paksa ke Kementerian Urusan Sosial.
Mereka mengatakan krisis yang melanda Lebanon akibat kehancuran ekonomi dan jatuhnya mata uang sudah hampir tidak dapat tertahankan. Satu dolar AS setara 25.100 pounds Lebanon, naik dari rekor sebelumnya satu dolar senilai 25.000 pounds Lebanon.
Beberapa pekan terakhir harga-harga meroket setelah pemerintah mencabut subsidi bahan bakar dan sejumlah obat-obatan, sehingga sulit untuk dicari di Lebanon. Sekitar tiga perempat populasi 6 juta jiwa itu termasuk satu juta pengungsi Suriah hidup dalam kemiskinan. Kini upah minimum bulanan sekitar 27 dolar AS.
Pengunjuk rasa menyalahkan Kementerian Sosial karena lamban dalam menyalurkan kartu jatah bantuan keuangan untuk masyarakat miskin. Pengunjuk rasa menerobos ke ruang rapat kementerian dan menurunkan foto Presiden Michel Aoun.
Mereka menggantinya dengan spanduk dengan tulisan bahasa Arab yang artinya 'Revolusi 17 Oktober'. Pengunjuk rasa mengacu pada unjuk rasa massal pada 17 Oktober 2019 melawan kelas penguasa.
Pengunjuk rasa yakin korupsi dan salah kelola selama puluhan tahun membawa negara kecil itu ke krisis finansial dan ekonomi terburuknya sepanjang sejarah masa modern. "Mereka yang merampas uang rakyat tidak bisa menggelar reformasi," kata salah satu demonstran sebelum meninggalkan gedung usai intervensi polisi.
"Kami sudah mencapai titik terendah, hal-hal ini tidak bisa lebih buruk lagi," tambah pengunjuk rasa.
Krisis ekonomi diperburuk pandemi Covid-19 dan ledakan di pelabuhan Beirut pada 4 Agustus 2020 lalu. Insiden itu menewaskan 216 orang, melukai 6.000 lainnya dan menghancurkan separuh ibu kota.