REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Istri mendiang diktator militer Korea Selatan Chun Doo-hwan, Lee Soon-ja, mengeluarkan permintaan maaf atas luka yang disebabkan oleh aturan brutal suaminya. Lee menyampaikan permintaan maaf ketika memberikan penghormatan terakhir untuk suaminya di sebuah rumah sakit di Seoul, pada Sabtu (27/11).
Chun, mengambil alih kekuasaan dalam kudeta pada 1979. Dia dengan keras menumpas aksi protes pro-demokrasi setahun kemudian, sebelum dipenjara karena pengkhianatan pada 1990-an. Chun meninggal dunia di rumahnya di Seoul pada Selasa (23/11) dalam usia 90 tahun.
Pada hari terakhir dari rangkaian prosesi pemakaman selama lima hari, keluarga Chun mengadakan upacara pemakaman di Rumah Sakit Severance Seoul. Setelah upacara pemakaman, jenazah Chun akan dikremasi. Lee mengatakan, mendiang suaminya ingin dikremasi dan abunya disebar di daerah perbatasan dekat Korea Utara.
“Saat kami menyelesaikan prosesi pemakaman hari ini, saya ingin menyampaikan permintaan maaf yang mendalam atas nama keluarga kami kepada orang-orang yang menderita rasa sakit dan terluka selama masa jabatan suami saya,” kata Lee.
Selama melakukan kudeta, Chun tidak pernah meminta maaf atas kekejamannya. Chun mengawasi pembantaian ratusan pengunjuk rasa pro-demokrasi di kota selatan Gwangju pada 1980. Ini merupakan salah satu momen tergelap dalam sejarah modern Korea Selatan.
Seorang pejabat senior di sebuah yayasan yang mewakili para korban Gwangju, Cho Jin-tae, mengatakan, ekspresi penyesalan Lee terdengar hampa.
Cho meminta keluarga Chun tidak hanya sekadar meminta maaf, namun melakukan tindakan untuk menebus kesalahannya. Termasuk bekerja sama dalam upaya pencarian kebenaran atas kesalahan besar Chun.
"Saya tidak berpikir siapa pun akan terhibur oleh komentar Lee Soon-ja hari ini," kata Cho kepada The Associated Press melalui telepon.