Selasa 30 Nov 2021 11:21 WIB

Optimisme Warnai Pembicaraan Nuklir Iran Terbaru

Diplomat Uni Eropa (UE), Iran, dan Rusia menunjukkan optimisme saat dialog nuklir

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Deputi Sekretaris Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Enrique Mora memberi keterangan pada wartawan di sela perundingan nuklir Iran di Vienna, Austria, 29 November 2021. Diplomat Uni Eropa (UE), Iran, dan Rusia menunjukkan optimisme saat dialog nuklir.
Foto: EPA
Deputi Sekretaris Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Enrique Mora memberi keterangan pada wartawan di sela perundingan nuklir Iran di Vienna, Austria, 29 November 2021. Diplomat Uni Eropa (UE), Iran, dan Rusia menunjukkan optimisme saat dialog nuklir.

REPUBLIKA.CO.ID, WINA -- Para diplomat Uni Eropa (UE), Iran, dan Rusia terdengar optimistis ketika mengadakan pembicaraan pertama setelah lima bulan pada Senin (29/11). Sesi yang dilakukan tanpa Amerika (AS) ini mencoba menghidupkan kembali pakta Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).

"Saya merasa sangat positif tentang apa yang saya lihat hari ini," kata pejabat UE yang memimpin pembicaraan Enrique Mora setelah pertemuan.

Baca Juga

Pembicaraan yang dihadiri Iran, Inggris, China, Prancis, Jerman, dan Rusia ini merupakan kali ketujuh dalam mengaktifkan kembali kesepakatan nuklir Iran. Mora mengatakan delegasi baru Iran tetap pada tuntutannya agar semua sanksi dicabut.

Namun, Mora menyarankan Teheran tidak langsung menolak hasil dari enam putaran pembicaraan sebelumnya yang diadakan antara April hingga Juni. "Mereka telah menerima bahwa pekerjaan yang dilakukan selama enam putaran pertama adalah dasar yang baik untuk membangun pekerjaan kami ke depan," katanya.

"Kami tentu saja akan menggabungkan kepekaan politik baru dari pemerintahan baru Iran," ujar Mora.

Utusan Rusia untuk pembicaraan tersebut, Mikhail Ulyanov, mengatakan di Twitter bahwa mereka memulai dengan cukup sukses. Ditanya apakah dia optimistis, negosiator utama Iran, Ali Bagheri Kani, mengatakan kepada wartawan "Ya, saya optimistis."

Akan tetapi masih tidak jelas apakah Iran telah setuju untuk melanjutkan pembicaraan yang sudah ditinggalkan pada Juni atau optimisme itu dibenarkan. Seorang diplomat Eropa membuat catatan pesimis dengan menyebut Iran tetap pada posisi mereka dan kadang-kadang menguatkan yang hampir hasilnya tidak menggembirakan. Diplomat itu mengatakan masalah akan menjadi lebih jelas ketika pembicaraan rinci tentang sanksi berlangsung pada Selasa (30/11) dan tentang masalah nuklir pada Rabu (1/12).

Pertemuan di Wina mengakhiri jeda yang dipicu oleh pemilihan Ebrahim Raisi sebagai presiden Iran pada Juni. Pembicaraan tersebut secara efektif merupakan negosiasi tidak langsung antara Teheran dan Washington dengan pejabat lain yang bolak-balik di antara mereka.

Tim perunding Teheran telah menetapkan tuntutan yang dianggap tidak realistis oleh diplomat AS dan Eropa. Iran telah mengambil posisi tanpa kompromi dengan menuntut penghapusan semua sanksi AS dan UE yang diberlakukan sejak 2017, termasuk yang tidak terkait dengan program nuklirnya.

Deputi politik di Kementerian Luar Negeri Iran Bagheri Kani mengatakan Washington dan sekutu Baratnya harus menjamin tidak ada sanksi baru yang akan dijatuhkan di masa depan. "Semua pihak dalam pertemuan itu menerima permintaan Iran bahwa pertama-tama situasi sanksi AS yang ilegal dan tidak adil harus dibersihkan dan kemudian membahas masalah lain dan memutuskan masalah itu," kata Pemimpin Negosiator Iran ini.

Sedangkan selama panggilan telepon, Presiden Prancis Emmanuel Macron mendesak Raisi untuk terlibat secara konstruktif untuk memungkinkan kembalinya perjanjian dengan cepat. Dia meminta untuk menjaga komitmen Iran kepada pengawas atom PBB.

Konflik Iran dengan Badan Energi Atom Internasional yang memantau program nuklirnya, telah memburuk. Teheran telah meningkatkan pengayaan uraniumnya. Badan tersebut mengatakan inspekturnya telah diperlakukan dengan kasar dan menolak akses untuk memasang kembali kamera pemantau di situs yang dianggap penting untuk menghidupkan kembali kesepakatan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement