REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Taliban merilis dekrit baru menyangkut hak-hak perempuan, namun tak merujuk pada akses pendidikan ataupun pekerjaan di luar rumah. Pada dekrit terbaru Jumat (3/12), perempuan diminta persetujuannya saat menikah dan tidak boleh menganggap mereka sebagai properti semata.
"Seorang wanita bukanlah properti, tetapi manusia yang mulia dan bebas: tidak ada yang bisa memberikannya kepada siapa pun dengan imbalan perdamaian atau untuk mengakhiri permusuhan," tulis dekrit terbaru tersebut yang dirilis oleh juru bicara Taliban Zabihillah Muhajid, dikutip laman Al Arabiya, Jumat.
Dekrit terbaru ini menetapkan aturan yang mengatur pernikahan dan properti untuk wanita. Dekrit menyatakan wanita tidak boleh dipaksa menikah dan janda harus memiliki bagian dalam properti mendiang suaminya. "Pengadilan harus mempertimbangkan aturan ketika membuat keputusan, dan kementerian agama dan informasi harus mempromosikan hak-hak ini," kata keputusan itu.
Namun, tidak disebutkan bahwa perempuan dapat bekerja atau mengakses fasilitas di luar rumah atau pendidikan. Padahal hal itu yang telah menjadi perhatian utama masyarakat internasional.
Taliban telah berada di bawah tekanan dari masyarakat internasional untuk berkomitmen menegakkan hak-hak perempuan sejak kelompok Islam garis keras mengambil alih negara pada 15 Agustus. Selama pemerintahan sebelumnya dari 1996 hingga 2001, Taliban melarang perempuan meninggalkan rumah tanpa kerabat laki-laki dan menutup wajah dan kepala. Anak perempuan dilarang menerima pendidikan.
Namun kini Taliban meyakinkan dunia kelompoknya telah berubah dan sekolah menengah untuk anak perempuan di beberapa provinsi telah diizinkan untuk dibuka. Tetapi banyak perempuan dan pembela hak tetap skeptis.
Komunitas internasional, yang telah membekukan miliaran dana bank sentral dan pengeluaran pembangunan, telah menjadikan hak-hak perempuan sebagai elemen kunci dari setiap keterlibatan masa depan dengan Afghanistan.
Negara yang juga menderita krisis likuiditas perbankan karena arus kas mengering karena sanksi, menghadapi risiko keruntuhan ekonomi sejak Taliban mengambil alih.
AS prihatin
Di sisi lain, Amerika Serikat (AS) masih menyatakan keprihatinan mendalam atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Afghanistan dan meminta Taliban untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk melindungi hak-hak warga di negara itu.
Pernyataan tersebut datang setelah Perwakilan Khusus AS untuk Afghanistan, Thomas West memimpin delegasi senior antar lembaga untuk membahas situasi di negara Asia Selatan tersebut di Ibu Kota Doha, Qatar. Para pejabat menyatakan keprihatinan mendalam mengenai tuduhan pelanggaran hak asasi manusia.