REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Protes China kepada Indonesia soal pengeboran minyak dan gas di perairan Natuna bukan lagi hal yang mengejutkan. Menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro Eddy Pratomo, Indonesia tidak perlu menanggapi protes tersebut.
"Protes China ini tidak mengejutkan karena China memang sejak awal mengeklaim perairan Zona Eksklusif Economic (ZEE) dan landas kontinen melalui nine-dash line atau sembilan garis putus-putus," ujar Eddy usai media gathering yang digelar Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI di Jakarta, Senin (6/12).
Seperti diketahui lokasi pengeboran minyak dan gas berada di landas kontinen Indonesia dan dalam nine-dash line. Namun karena Indonesia menolak keabsahan China tentang nine-dash line ini, maka sudah tepat jika Indonesia mengabaikan protes China tersebut.
"Menurut observasi saya, reaksi pemerintah RI terhadap klaim ini sudah tepat dan konsisten yang sejak awal sudah menolak keabsahan nine-dash line dan arbitrase tribunal UNCLOS tentang LCS 2016 juga telah mengonfirmasi klaim sepihak China ini bertentangan dengan hukum internasional," ujarnya.
Pada 2003, Indonesia-Vietnam sudah menyepakati landas kontinen. "Kesepakatannya sudah diratifikasi. Dasar tindakan Indonesia sangat kuat, baik menurut hukum nasional maupun internasional," ujarnya.
Menurutnya, ketegasan pemerintah RI tidak berubah dan sudah mengambil langkah tegas dan konsisten. Dalam hal ini, Indonesia mengabaikan protes Cina dengan cara melanjutkan pengeboran di perairan Natuna.
Indonesia juga mengerahkan kapal-kapal penegak hukum untuk mengamankan kegiatan pengeboran tersebut. Pengeboran pun telah mencapai misi tuntasnya pada 19 November lalu.
"Dengan tuntasnya pengeboran ini maka soal protes Cina tersebut sudah kehilangan konteks dan tidak relevan lagi diributkan, karena tujuan pengeboran ini sudah tercapai," ujarnya.
Eddy meminta rakyat atau pihak manapun tidak perlu membesarkan protes Cina tersebut. Kedua negara pun masih melanjutkan hubungannya terlepas dari isu di Laut Cina Selatan.
"Hubungan kedua negara selalu tidak terpengaruh oleh isu Laut China Selatan, justru kerja sama ekonomi kedua negara meningkat," ujar mantan direktur jenderal hukum dan perjanjian internasional Kemenlu RI itu.
Menurutnya perhatian kita sebaiknya lebih diarahkan untuk mendorong lagi berbagai aktivitas ekonomi di perairan hak-hak berdaulat RI di Laut China Selatan. Kendati demikian, Indonesia diketahui sudah mengirimkan nota balasan atas protes China yang dinilai merupakan kelaziman dalam diplomasi. "Posisi Indonesia sejak dulu jelas, tak ada sengketa wilayah dengan China dan tidak perlu ada pembicaraan apapun soal itu," kata Eddy.
Ia menjelaskan terdapat setidaknya tiga akar masalah sengketa perairan Laut China Selatan. Pertama, soal kepemilikan sebuah wilayah. Indonesia tak pernah mempermasalahkan hal ini dan hanya berkiblat pada hukum internasional yang diakui dunia. Kedua, yakni dengan China soal batas maritim yang sesuai UNCLOS 1982. Serta ketiga soal stabilitas kawasan. Jika dua persoalan pertama terus berseteru, maka kawasan akan terganggu.
Pada November, China dilaporkan telah mengirimkan nota protes ke RI atas pengeboran eksplorasi Indonesia di Laut Natuna. Pengeboran terjadi pada Juli-November 2021.