REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Anggota parlemen Amerika Serikat (AS) memasukkan upaya untuk melawan Rusia dan China dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) pertahanan tahunan yang dirilis pada Selasa (7/12). RUU ini mengusulkan 300 juta dolar AS untuk militer Ukraina dan pernyataan dukungan untuk pertahanan Taiwan.
Namun RUU ini menghilangkan beberapa tindakan yang mendapat dukungan kuat di Kongres. Beberapa poin tersebut termasuk proposal untuk menjatuhkan sanksi wajib atas pipa gas Nord Stream 2 Rusia dan rencana untuk memasukkan perempuan ke wajib militer untuk pertama kalinya.
Versi kompromi dari Undang-Undang (UU) Otorisasi Pertahanan Nasional 2022 atau NDAA mengesahkan 770 miliar dolar AS dalam pengeluaran militer. Jumlah ini 25 miliar dolar AS lebih banyak dari yang diminta oleh Presiden Joe Biden dan sekitar 5 persen lebih banyak dari anggaran tahun lalu.
Rencana tersebut mencakup kenaikan gaji 2,7 persen untuk pasukan. Termasuk lebih banyak pembelian pesawat dan kapal Angkatan Laut untuk mengirim sinyal ke Rusia dan China, di samping strategi untuk menghadapi ancaman geopolitik.
NDAA biasanya lolos dengan dukungan bipartisan yang kuat. Ini diawasi secara ketat oleh industri dan kepentingan lain yang luas karena cakupannya yang luas dan satu-satunya bagian utama dari RUU yang menjadi UU setiap tahun.
NDAA 2022 mencakup 300 juta dolar untuk Inisiatif Bantuan Keamanan Ukraina, yang memberikan dukungan kepada angkatan bersenjata Ukraina. Ini termasuk 4 miliar dolar AS untuk Prakarsa Pertahanan Eropa dan mengusulkan 150 juta dolar AS untuk kerja sama keamanan Baltik.
RUU ini tidak termasuk ketentuan yang akan memaksa Biden untuk menjatuhkan sanksi atas pipa Nord Stream 2 senilai 11 miliar dolar untuk membawa gas Rusia langsung ke Jerman. Pendukung tindakan itu berpendapat pipa itu akan berbahaya bagi sekutu Eropa.
Selain urusan Rusia, RUU tersebut mencakup 7,1 miliar dolar AS untuk Inisiatif Pencegahan Pasifik dan pernyataan dukungan kongres untuk pertahanan Taiwan. RUU ini mengatur pula larangan Departemen Pertahanan untuk mendapatkan produk yang diproduksi dengan kerja paksa dari wilayah Xinjiang China.
AS telah melabeli perlakuan China terhadap minoritas Muslim Uighur di Xinjiang sebagai genosida. Anggota parlemen telah mendorong larangan impor produk yang dibuat dengan kerja paksa dari Uighur. China menolak tuduhan genosida sebagai pernyataan fitnah tentang kondisi di Xinjiang.