REPUBLIKA.CO.ID, BENGALURU -- Amerika Serikat (AS) hingga Ahad (12/12), sudah mencatatkan 50 juta kasus COVID-19. Menurut hitungan Reuters, Senin (13/12), sementara varian Delta masih mendominasi, sementara varian Omicron sedang menyebar.
Setelah sekitar dua bulan, jumlah infeksi virus corona menurun, dan AS kembali mengalami peningkatan harian dalam dua pekan belakangan ini akibat Delta. Negara-negara bagian AS di kawasan yang suhunya lebih dingin, termasuk Vermont, New Hampshire, dan Michigan, sedang mengalami lonjakan infeksi COVID-19.
Jumlah pasien COVID yang dirawat di rumah sakit juga meningkat, yaitu naik 20 persen sejak liburan Thanksgiving pada akhir November. Selama November, angka kematian naik sebesar 4,6 persen.
Jumlah total orang yang meninggal akibat COVID-19 juga sudah melebihi 800.000 jiwa. Sementara, hampir setengah dari negara-negara bagian AS telah mencatat kemunculan kasus Omicron.
"Namun, varian Delta masih menjadi penyebab 99 persen kasus COVID-19," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS (CDC) Dr Rochelle Walensky.
Menurut analisis Reuters, 25 juta pertama kasus COVID bermunculan dalam kurun satu tahun. Sementara itu, 25 juta kasus berikutnya muncul kurang dari satu tahun, yaitu hanya 323 hari.
Hasil-hasil penelitian laboratorium yang diterbitkan pekan ini menunjukkan bahwa varian Omicron akan menumpulkan kemanjuran dua dosis vaksin Pfizer dan BioNTech dalam mencegah infeksi COVID-19. Namun, dosis ketiga vaksin kemungkinan bisa mengembalikan daya pelindungan.
Sekitar 14 persen warga di Amerika Serikat saat ini sudah mendapatkan penguat (booster). Pfizer Inc dan Merck telah mengembangkan obat antiviral COVID-19 yang berfungsi terhadap semua varian. Banyak negara juga bergegas membeli jenis pil itu.
Menteri Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS, Xavier Becerra, mengatakan, vaksinasi harus menjadi prioritas bagi warga Amerika namun bahwa pil tersebut bisa membantu orang agar tidak perlu dirawat di rumah sakit. "Ini merupakan aspek yang akan menyelamatkan nyawa," katanya.