REPUBLIKA.CO.ID, DORI -- Seorang suster memindahkan Sakinatou Amadou dari atas timbangan di sebuah klinik kecil di utara Burkina Faso. Bayi sembilan bulan itu sedang masa pemulihan malnutrisi yang ia alami.
Ibunya sudah meninggal dunia. Dia dibesarkan di Dori, sebuah pusat perniagaan dekat perbatasan Niger oleh neneknya. Neneknya sendiri memiliki 14 anggota keluarga yang kesulitan untuk menafkahi diri mereka sendiri sejak keluarga itu mengungsi dari desa mereka pada 2019 lalu.
Mereka bagian dari 2 juta lebih orang di seluruh Burkina Faso, Mali dan Niger yang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena gelombang serangan kelompok pemberontak di daerah pedesaan. Curah hujan yang tak menentu mengganggu musim panen.
PBB memperkirakan sekitar 5,5 juta orang di tiga negara Afrika di ujung Sahara itu mengalami kekuranganpangan. Pada bulan Agustus lalu PBB memprediksi jumlahnya dapat bertambahnya menjadi 8,2 juta orang karena pangan menjadi langka sebelum panen.
"Masyarakat kehilangan hewan ternak, ladang dan terkadang lahan pertanian, mereka kehilangan segalanya," kata dokter Alphonse Gnoumou yang mengelola klinik tempat yang membantu Sakinatou menambah berat badan, Senin (13/12).
Gelombang kekerasan memaksa pasar ternak yang dulunya ramai terpaksa ditutup. Penjual sayur dan makanan kering Kadidiatou Ba mengatakan mengirimkan makanan ke wilayah itu berbahaya dan harga-harga melonjak tajam.
"Semua jadi naik, kami sebelumnya cukup membayar 40.000 franc CFA sekarang kami harus membayar 75.000," kata Kadidiatou Ba sambil menunggu pembeli.
Sementara dalam dua tahun terakhir populasi Dori bertambah tiga kali libat menjadi 71 ribu orang. Gelombang pengungsi mengancam menekan layanan setempat yang lemah.
Tiga atau empat anak terpaksa duduk berdesakan di setiap meja di sekolah setempat. Setiap anak mendapatkan semangkuk nasi dan kacang-kacangan sehingga setidaknya mereka dapat satu kali makan dalam satu hari.
"Anak-anak ini mengalami trauma, ketika mereka pertama kali tiba bersama orang tua mereka, kami melihat kesedihan yang sangat menghancurkan pada mereka," kata kepala sekolah Bokum Abdalaye.
"Ketika mereka melihat makan siang yang dapat mereka bagi dengan yang lain, itu membantu mereka bertahan," tambahnya.