REPUBLIKA.CO.ID, KABUL – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan, lebih dari 100 mantan pasukan keamanan nasional Afghanistan telah tewas sejak Taliban kembali berkuasa pada Agustus lalu. Sebagian besar mantan pasukan keamanan tersebut tewas di tangan Taliban.
Wakil Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Nada al-Nashif, mengatakan, setidaknya 50 tersangka anggota kelompok yang berafiliasi dengan ISIS atau dikenal sebagai ISIS-Khorasan (ISIS-K), tewas dengan cara digantung dan dipenggal.
Al-Nashif menggambarkan, pemerintahan Taliban ditandai dengan pembunuhan di luar proses hukum di seluruh negeri. Setidaknya ada 72 dari lebih dari 100 dugaan pembunuhan yang dikaitkan dengan Taliban.
“Dalam beberapa kasus, mayat-mayat itu ditampilkan di depan umum. Ini telah memperburuk ketakutan di antara populasi yang cukup besar ini," ujar al-Nashif.
Al-Nashif mengatakan, setidaknya delapan aktivis Afghanistan dan dua wartawan telah tewas sejak Agustus. Sementara PBB juga telah mendokumentasikan 59 penahanan yang tidak sah.
"Keamanan para hakim, jaksa, dan pengacara Afghanistan, khususnya profesional hukum wanita adalah masalah yang harus diwaspadai," ujar al-Nashif.
Utusan Afghanistan dari bekas pemerintahan yang didukung Barat, Nasir Ahmad Andisha, menuduh Taliban melakukan berbagai pelanggaran termasuk pembunuhan yang ditargetkan dan penghilangan paksa.
Andisha, yang merupakan duta besar Kabul untuk PBB di Jenewa mengatakan, laporan PBB telah memberikan kesaksian tentang pembersihan etnis dan suku di beberapa provinsi di Afghanistan.
“Dengan pengambilalihan militer Kabul oleh Taliban, kita tidak hanya melihat pembalikan total dari kemajuan dua dekade, tetapi kelompok itu juga melakukan serangkaian pelanggaran dengan impunitas penuh yang dalam banyak kasus tidak dilaporkan dan tidak terdokumentasi,” ujar Andisha.
Sejak kembali berkuasa, Taliban berjanji untuk memenuhi hak-hak anak perempuan dalam mengakses pendidikan. Termasuk hak perempuan untuk bekerja.
Namun al-Nashif mengatakan, dekrit yang dikeluarkan Taliban telah gagal merujuk pada hak perempuan dan anak perempuan untuk mengakses pendidikan, pekerjaan dan kebebasan mereka berpartisipasi dalam kehidupan publik.
"Keluarga menghadapi kemiskinan dan kelaparan parah pada musim dingin ini, sementara ada laporan pekerja anak, pernikahan dini dan bahkan penjualan anak," kata al-Nashif.