Selama lima dekade terakhir, Medecins Sans Frontieres (MSF) atau Dokter Tanpa Batas Negara, memberikan perawatan medis kepada jutaan pengungsi, dan mereka yang selamat dari bencana alam, epidemi, dan genosida di banyak wilayah krisis dan zona konflik di seluruh dunia.
Ratusan ribu dokter, perawat, dan ahli logistik, banyak di antaranya tenaga lokal, telah mendirikan rumah sakit lapangan, melakukan operasi, memvaksinasi banyak orang dan menyediakan pasokan medis bagi orang-orang yang sangat membutuhkannya. Sebagai pengakuan atas pekerjaan kemanusiaannya itu, kelompok ini dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada 1999.
"Semuanya dimulai pada akhir 1960-an," kata Ulrike von Pilar, salah satu pendiri MSF cabang Jerman. Pada saat itu, provinsi kaya minyak Biafra ingin memisahkan diri dari Nigeria. Para dokter Prancis yang bekerja untuk Palang Merah Internasional menyaksikan ribuan orang yang kekurangan gizi parah di wilayah yang dilanda perang ini, dan menduga bahwa bencana besar kejahatan terhadap kemanusiaan sedang terjadi.
Melanggar prinsip netralitas
Sebagai pekerja Palang Merah, mereka telah disumpah untuk bersikap netral dan tidak memihak — tetapi mereka menolak untuk mematuhinya. Itulah awal lahirnya Medecins Sans Frontieres (MSF) yang didirikan oleh beberapa dokter sukarelawan itu. "Prinsip yang paling penting adalah, menyelamatkan nyawa manusia, apa pun perlu dilakukan, termasuk menjadi saksi kejahatan terhadap kehidupan manusia," kata von Ulrike von Pilar.
Berkali-kali, personel MSF dihadapkan pada dilema etika yang mendasar: menyelamatkan nyawa dengan persetujuan penguasa negara, atau mengecam kejahatan yang dilakukan oleh penguasa, yang bisa berisiko terusir dan menelantarkan pasien mereka.
Anggota MSF sering terperangkap dalam konflik dan baku tembak pada beberapa kesempatan. Pada 3 Oktober 2015, sebuah rumah sakit MSF di Kunduz, Afganistan, hancur menjadi puing dalam serangan udara militer AS yang kemudian disebut pemerintah Amerika Serikat sebagai "kesalahan". Staf MSF juga sering menjadi korban serangan dan penculikan di kawasan konflik.
Juga menghadapi kritik
Saat ini, MSF memiliki sekitar 45 ribu relawan dan karyawan dan aktif di lebih dari 70 negara. Anggaran tahunannya mencapai sekitar 1,6 miliar euro, sebagian besar berasal dari sumbangan. Di negara-negara yang sangat rentan, seperti Haiti dan Sudan Selatan, MSF bahkan bertindak sebagai penyedia layanan kesehatan nasional.
Tapi organisasi ini juga tidak lepas dari kritik. Margaret Ngunang, seorang pekerja sosial dari Kamerun yang bekerja untuk MSF di Juba, Sudan Selatan pada 2018, dan sekarang tinggal di New York, berbicara tentang apa yang dilihatnya sebagai arogansi para "dewa putih berbaju putih" dan sikap rasis kelompok itu.
Pada 2018, penyelidik juga menemukan karyawan MSF di Afrika sering menggunakan jasa pelacur lokal. Insiden itu telah diinvestigasi oleh organsaisi, dan mereka yang terlibat telah dipecat, namun hal-hal seperti ini mencoreng reputasi MSF.
Saat ini, MSF juga terlibat dalam diskusi intensif tentang bagaimana menghilangkan rasisme struktural dalam kerja sama bantuan darurat di berbagai tempat. 50 tahun setelah pendiriannya, memang masih banyak hal yang harus dibenahi — baik secara internal maupun global. (hp/vlz)