REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Australia akan melakukan perubahan dalam aturan tes COVID-19 untuk mengurangi beban fasilitas pengujian di tengah tingginya kasus. Perdana Menteri Scott Morrison pada Rabu (29/12), mengatakan, Australia perlu "pindah persneling" untuk membantu lab yang kewalahan dan mengeluarkan orang-orang dari isolasi. Dia berencana menggelar rapat singkat kabinet nasional tentang hal itu pada Kamis.
"Kita tak bisa membuat setiap orang tak boleh kemana-mana hanya karena pernah berada di tempat tertentu pada waktu tertentu," kata Morrison, ketika berbicara kepada media, mengutip laman reuters.
Morrison berencana memprioritaskan kasus-kasus kesehatan yang mendesak untuk memangkas antrean di tempat-tempat pengujian dan waktu tunggu hasil lab, yang saat ini mencapai 3-4 hari. Aturan yang diusulkan akan lebih mengandalkan tes cepat antigen, merevisi kriteria kontak dekat kasus terkonfirmasi bagi mereka yang tinggal serumah, dan mengharuskan tes PCR hanya bagi orang bergejala.
Kontak dekat akan diwajibkan isolasi selama tujuh hari. Banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan Inggris, telah mempersingkat waktu isolasi pada kasus-kasus tanpa gejala.
Usulan aturan baru soal tes COVID itu muncul ketika Queensland berjanji untuk melonggarkan aturan perjalanan antarnegara bagian. Mulai 1 Januari, pendatang hanya perlu menunjukkan hasil negatif tes cepat antigen, bukan lagi tes PCR, untuk memasuki negara bagian itu.
Morrison mengatakan, dana 375 juta dolar Australia (sekitar Rp3,9 triliun) akan disediakan untuk membeli jutaan perangkat tes cepat antigen tambahan. Kebijakan "tes wisata" Queensland sebelumnya dikritik keras oleh New South Wales setelah pelancong memadati tempat-tempat pengujian sehingga penerbitan hasil tes menjadi tertunda beberapa hari. Meski kasus melonjak, sejumlah tempat pengujian di Sydney tutup selama liburan dan tempat-tempat yang masih dibuka menghadapi antrean panjang.
"Ini gila," kata Hayden Anderson (44 tahun) yang mengidap kanker hati kepada Reuters.
"Kenapa semua tempat tes ditutup?," lanjut Anderson.
Ia menjalani tes PCR setelah seorang temannya positif terinfeksi virus corona sesaat sebelum Natal. Ketika dia akan menjalani tes, tempatnya tutup.
Setelah melihat antrean panjang di tempat lain, dia memutuskan untuk melakukan tes cepat antigen di rumah. Namun di tengah lonjakan kasus, dia khawatir akan sulit mendapatkan tes PCR seperti yang diharuskan sebelum jadwal kemoterapinya pada 11 Januari.
"Bagai memakan buah simalakama," kata dia.
Australia dilanda wabah varian Omicron yang menular cepat. Kasus baru di negara itu pada Selasa lalu mendekati angka 18.300, melampaui rekor tertinggi pada gelombang sebelumnya yang sekitar 11.300 kasus.
Angka kasus harian mencapai rekor tertinggi di sebagian besar negara bagian. New South Wales, tempat Sydney berada dan paling padat penduduknya, melaporkan peningkatan infeksi hampir dua kali lipat menjadi 11.201.
Meski Omicron menyebar dengan cepat, Morrison sejauh ini menghindari penguncian (lockdown) dan mendesak masyarakat untuk fokus pada jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit. Kasus rawat inap memang meningkat, namun jumlahnya masih di bawah puncak gelombang Delta.
Terlepas dari hantaman Omicron dan Delta, dampak COVID-19 di Australia masih tergolong paling rendah di dunia berkat aturan pembatasan sosial dan penutupan perbatasan yang ketat. Sejauh ini, negara itu mencatat sekitar 341.500 kasus dan 2.210 kematian. Sebagian besar negara bagian di Australia kini mulai hidup berdampingan dengan virus corona menyusul tingginya tingkat vaksinasi.