Jumat 31 Dec 2021 18:18 WIB

Uni Eropa Dorong Embargo Senjata Terhadap Myanmar

Uni Eropa serukan embargo senjata internasional terhadap pemerintah militer Myanmar

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Christiyaningsih
Polisi berjaga di balik kawat berduri ketika mereka berusaha untuk menghentikan pengunjuk rasa di luar kantor Komisi Pemilihan Umum di Naypyitaw, Myanmar pada 11 November 2020. Pemimpin Myanmar yang digulingkan Aung San Suu Kyi adalah putri pahlawan kemerdekaan negara itu, Jenderal Aung San , yang dibunuh pada tahun 1947, kurang dari enam bulan sebelum negara itu, yang saat itu bernama Burma, merdeka dari Inggris. Suu Kyi pindah ke New Delhi pada tahun 1960 ketika ibunya ditunjuk sebagai duta besar untuk India dan kemudian menghabiskan sebagian besar masa dewasa mudanya di Amerika Serikat dan Inggris. Karirnya di dunia politik dimulai pada tahun 1988. Uni Eropa serukan embargo senjata internasional terhadap pemerintah militer Myanmar.
Foto:

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Rabu (29/12) mengutuk pembantaian terhadap 35 orang, termasuk dua staf Save the Children di negara bagian Kayah, Myanmar. Pembantaian yang dilakukan pada malam Natal ini diduga dilakukan oleh pasukan militer Myanmar.

"Perlu ada pertanggungjawaban atas tindakan ini," ujar pernyataan Dewan Keamanan PBB dilansir Channel News Asia.

Dewan Keamanan PBB menyerukan semua pihak untuk menghentikan kekerasan dan menekankan pentingnya menghormati hak asasi manusia serta memastikan keselamatan warga sipil. Dewan Keamanan PBB menekankan perlunya akses kemanusiaan yang aman dan tanpa hambatan bagi semua orang yang membutuhkan. Akses keamanan bertujuan untuk memberikan perlindungan penuh serta keselamatan personel kemanusiaan dan medis.

Pejuang anti-junta telah menemukan lebih dari 30 mayat terbakar, termasuk wanita dan anak-anak. Jasad yang terbakar itu ditemukan di jalan raya di negara bagian Kayah. Dua staf Save the Children termasuk di antara mereka yang tewas.

Amerika Serikat (AS) mengutuk serangan brutal oleh militer Myanmar di negara bagian Kayah tersebut. Menteri Luar Negeri Antony Blinken khawatir tindakan brutal rezim militer Myanmar semakin meluas.

“Kami khawatir dengan kebrutalan rezim militer di sebagian besar Burma, termasuk yang terbaru di Negara Bagian Kayah dan Karen,” kata Blinken dilansir Anadolu Agency.

Blinken menegaskan serangan yang menargetkan warga sipil tak bersalah itu tidak dapat dibenarkan. Menurutnya, militer telah melakukan kekejaman yang meluas terhadap rakyat Myanmar. Karena itu, Blinken mendorong PBB untuk meminta pertanggungjawaban militer Myanmar atas tindakan brutal mereka.

"Penargetan orang tak bersalah dan aktor kemanusiaan tidak dapat diterima dan kekejaman militer yang meluas terhadap rakyat Burma menggarisbawahi urgensi meminta pertanggungjawaban anggotanya," kata Blinken.

Ia mendesak masyarakat internasional untuk berbuat lebih banyak dan mencegah terulangnya kekejaman di Myanmar. Termasuk mengakhiri penjualan senjata dan teknologi penggunaan ganda kepada militer Myanmar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement