REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan, negara itu tidak siap untuk mengakui Pemerintah Taliban sebagai otoritas de facto Afghanistan, Senin (3/1) saat ini. Iran adalah salah satu dari 11 negara yang telah mempertahankan pos-pos diplomatik di Afghanistan.
"Hari ini, kami pada dasarnya tidak pada titik untuk mengakui. Kami berharap badan pemerintahan Afghanistan akan bergerak, melalui tindakannya, ke arah yang memungkinkannya mencapai pengakuan internasional," kata Khatibzadeh dikutip dari Middleeasteye.
Komentar Khatibzadeh muncul sehari setelah Duta Besar Iran untuk Afghanistan Bahadur Aminian mengatakan Iran tidak akan mengakui Pemerintah Taliban kecuali jika itu inklusif. "Iran dan negara-negara tetangga Afghanistan bersikeras, terutama pada pembentukan pemerintah inklusif yang mencerminkan keragaman etnis dan demografi negara ini," katanya.
Hingga saat ini tidak ada negara yang secara resmi mengakui Taliban sebagai pemerintah yang sah. Teheran bahkan telah menentang Taliban ketika berkuasa antara 1996-2001 dan berkoordinasi dengan Amerika Serikat (AS) dalam menggulingkan kelompok itu.
Namun, tahun lalu ketika AS dan negara-negara Barat menarik diri dari negara itu, Presiden Iran Ebrahim Raisi merayakan kegagalan militer AS. Dia mengatakan, itu adalah kesempatan untuk memulihkan perdamaian dan keamanan.
Iran memiliki hubungan yang kompleks dengan Taliban sejak pengambilalihan. Negara-negara tersebut berbagi perbatasan sepanjang 900 kilometer dan keduanya dikenakan sanksi AS yang melemahkan.
Terisolasi dari sistem keuangan global dan berbagi permusuhan yang sama terhadap AS, mereka telah memperdalam hubungan ekonomi dan perdagangan. Awal tahun ini, Middle East Eye melaporkan Iran terus menjual bahan bakar ke Afghanistan sementara masih di bawah pengabaian sanksi AS. Pada saat yang sama, bentrokan meletus antara tentara Iran dan pasukan Taliban di sepanjang perbatasan bersama mereka.
Teheran juga prihatin dengan aliran obat-obatan terlarang dan pengungsi dan harus menghadapi ancaman terorisme yang berasal dari cabang kelompok ISIS di negara Asia Tengah itu. Risiko penganiayaan yang dihadapi minoritas Syiah Afghanistan dari terorisme juga telah memicu kekhawatiran.