Senin 10 Jan 2022 20:41 WIB

Kebakaran Kamp Membuat Pengungsi Rohingya Kian Menderita

Kebakaran ini menyebabkan ribuan pengungsi Rohingya kehilangan tempat tinggal.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Kamp Rohingya di Bangladesh terbakar.
Foto:

Kebakaran membuat Rashid kehilangan tempat tinggal dan harta bendanya. Namun di sisi lain, dia bersyukur karena keluarganya selamat dari kobaran si jago merah. “Semua yang ada di rumah saya terbakar. Bayi dan istri saya sedang keluar. Ada banyak barang di rumah," ujar Rashid.

Kebakaran kerap melanda kamp pengungsi Rohingya. Pekan lalu, kebakaran menghanguskan pusat perawatan Covid-19 untuk pengungsi Rohingya. Tragedi kebakaran ini tidak menimbulkan korban jiwa.

Seorang pengungsi Rohingya, Mohammad Yasin mengeluhkan kurangnya peralatan keselamatan kebakaran di kamp pengungsian. Yasin harus kehilangan tempat tinggal dan sejumlah dokumen penting dalam insiden kebakaran pada Ahad. Yasin mengatakan, tidak ada air di kamp pengungsian sehingga para penghuni kamp kesulitan untuk memadamkan api.

“Kebakaran sering terjadi di sini. Tidak mungkin kami bisa memadamkan api. Tidak ada air. Rumah saya terbakar.  Banyak dokumen yang saya bawa dari Myanmar juga terbakar,” kata Yasin.

Pada Maret 2021, kebakaran hebat melanda kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh selatan. Kebakaran ini menewaskan 15 pengungsi Rohingya dan menghancurkan lebih dari 10 ribu gubuk penampungan.

Ketika itu, kebakaran di kamp Balukhali di distrik Cox's Bazar terjadi pada sore hari dan menyebar dengan cepat melalui empat blok. Empat unit petugas pemadam kebakaran berjuang untuk mengendalikan api karena penyebarannya yang sangat cepat.

Bangladesh telah menjadi tempat pelarian bagi lebih dari satu juta Muslim Rohingya. Menurut Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi dan organisasi kemanusiaan, Save the Children, jumlah pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp pengungsian di Cox's Bazar berkisar antara 800 ribu hingga lebih dari 900 ribu orang.

Sebagian besar pengungsi telah melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar. Pada  2016 dan 2017, militer Myanmar meluncurkan kampanye pembunuhan dan pembakaran brutal, yang memaksa lebih dari 740 ribu minoritas Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.

Operasi penumpasan militer di Myanmar pada 2017 disebut memiliki niat tindakan genosida. Kasus genosida ini dibawa ke pengadilan di Mahkamah Internasional.  Myanmar membantah tuduhan genosida tersebut.

Myanmar berdalih operasi militer adalah tindakan kontra-terorisme yang sah. Pada 2019, PBB mengatakan, militer masih melanjutkan tindakan pelanggaran berat hak asasi manusia di beberapa negara bagian seperti Rakhine, Chin, Shan, Kachin dan Karen yang menampung etnis minoritas.

Bangladesh telah menampung para pengungsi di kamp-kamp pengungsian yang padat. Bangladesh ingin melanjutkan proses repatriasi atau pemulangan kembali para pengungsi Rohingya ke Myanmar. Sejauh ini, beberapa upaya repatriasi di bawah kesepakatan bersama gagal karena Rohingya menolak untuk pergi dari kamp pengungsian.

Para pengungsi Rohingya takut kembali ke Myanmar, karena negara tersebut tidak mengakui hak-hak dasar Rohingya termasuk kewarganegaraan. Para pengungsi Rohingya juga khawatir akan menghadapi kekerasan lagi jika kembali ke kampung halaman mereka.

Bangladesh menuai pujian karena menerima pengungsi  Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar dan melintasi perbatasan. Tetapi hanya sedikit pengungsi yang dapat tinggal dengan nyaman di rumah permanen.

Pengungsi Rohingya dari Myanmar telah bertahun-tahun berlayar ke beberala negara ASEAN, eperti Malaysia, Thailand, dan Indonesia untuk mencari perlindungan. Bulan lalu, Indonesia mengizinkan sebuah kapal pengungsi Rohingya untuk berlabuh, setelah ada seruan dari organisasi bantuan untuk mengizinkan kapal tersebut mencari perlindungan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement