REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Ribuan guru di Prancis pada Kamis (13/1/2022) menggelar aksi mogok secara massal, karena kegagalan pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang koheren bagi sekolah dalam mengelola pandemi Covid-19. Terutama melindungi siswa dan staf sekolah dari infeksi Covid-19, ketika kelas tatap muka dimulai.
Guru, orang tua, dan administrator sekolah telah berupaya untuk mengikuti aturan pembatasan baru yang diumumkan sebelum akhir liburan Natal. Namun pemerintah mengubah aturan tersebut sebanyak dua kali sejak dikritik.
Pemerintah menutup kelas yang menjadi klaster kasus virus corona. Pemerintah mengatakan beberapa tingkat komplikasi adalah konsekuensi dari pembukaan sekolah.
Namun lonjakan infeksi tahun baru yang mencapai rekor harian mendekati 370 ribu di Prancis juga telah menyebabkan lonjakan kasus di sekolah. Banyak sekolah mengalami kesulitan untuk tetap memberlakukan kelas tatap muka karena murid dan staf sekolah mengalami infeksi Covid-19.
"Kelelahan dan kekesalan seluruh komunitas pendidikan telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata sebelas serikat pekerja dalam sebuah pernyataan bersama.
"Menteri dan pemerintah harus bertanggung jawab dalam situasi kacau ini karena gencarnya perubahan pijakan, protokol yang tidak berjalan, dan kurangnya alat yang tepat untuk menjamin (sekolah) dapat berfungsi dengan baik," kata pernyataan bersama tersebut.
Serikat pekerja memperkirakan banyak sekolah akan ditutup dan sebagian besar guru, termasuk sekitar 75 persen guru di sekolah dasar, bergabung dalam aksi mogok. Menteri Pendidikan Jean-Michel Blanquer mendesak para guru untuk tidak meninggalkan pekerjaan mereka. Dalam wawancara dengan BFM TV, Michel Blanquer menuding aksi mogok tersebut merupakan upaya untuk menyerang virus corona.
Menurut serikat pekerja, mereka telah menyerukan pemogokan bukan untuk melawan virus tetapi karena disorganisasi yang disebabkan oleh tes dan aturan pelacakan kontak. Hal ini meningkatkan risiko penularan dan kekurangan masker untuk staf.