REPUBLIKA.CO.ID, KABUL – Di lingkungan Kabul, sekelompok anak laki-laki menendang bola kuning di sekitar taman bermain yang berdebu, teriakan riuh mereka bergema di gedung apartemen sekitarnya.
Mengenakan sweter dan jeans atau pakaian tradisional pria Afghanistan berupa celana baggy dan kemeja panjang, tidak ada yang menonjol saat mereka berdesak-desakan untuk mencetak gol. Hanya saja, tanpa sepengetahuan mereka, yang satu berbeda dari yang lain.
Pada usia yang belum genap delapan tahun, Sanam adalah seorang bacha posh atau istilah anak perempuan yang hidup sebagai laki-laki. Suatu hari di beberapa bulan yang lalu, gadis dengan pipi kemerahan dan senyum nakal memotong pendek rambut hitamnya. Dia mengenakan pakaian anak laki-laki dan mengambil nama anak laki-laki, Omid.
Langkah itu membuka dunia anak laki-laki untuknya. Sanam yang menjadi Omid bisa bermain sepak bola dan kriket dengan anak laki-laki, bergulat dengan putra tukang daging tetangga. Bahkan dia bekerja untuk membantu keluarga memenuhi kebutuhan.
Dalam masyarakat Afghanistan yang sangat patriarkal dan didominasi laki-laki, perempuan dan anak perempuan biasanya diasingkan ke rumah. Fenomena bacha posh pun muncul dan satu-satunya tradisi yang memungkinkan anak perempuan mengakses dunia laki-laki yang lebih bebas.
Praktik seorang gadis berpakaian, berperilaku dan diperlakukan sebagai anak laki-laki, dengan semua kebebasan dan kewajiban yang menyertainya pun berkembang.
Anak dapat berolahraga, bersekolah di madrasah, atau sekolah agama, dan, terkadang yang terpenting bagi keluarga, bekerja. Tapi penyamaran ini ada batas waktu. Setelah bacha posh mencapai pubertas, dia diharapkan untuk kembali ke peran gender sebagai gadis tradisional dan transisi ini tidak selalu mudah.
Hingga saat ini, Taliban yang merebut kekuasaan Afghanistan pada pertengahan Agustus tidak membuat pernyataan publik tentang masalah ini. Aturan mereka sejauh ini kurang kejam dibandingkan terakhir kali berkuasa pada 1990-an.
Tapi kebebasan perempuan masih sangat dibatasi. Ribuan perempuan telah dilarang bekerja dan anak perempuan di atas usia sekolah dasar belum dapat kembali ke sekolah umum di banyak tempat.
Baca juga: Mualaf Erik Riyanto, Kalimat Tahlil yang Getarkan Hati Sang Pemurtad
Dengan tindakan keras terhadap hak-hak perempuan, tradisi bacha posh bisa menjadi lebih menarik bagi beberapa keluarga. Menurut profesor antropologi di Boston University yang telah menulis beberapa buku tentang Afghanistan, Thomas Barfield, praktik ini bersifat sementara, dengan anak-anak akhirnya kembali ke peran perempuan, Taliban mungkin tidak akan menangani masalah ini sama sekali. "Karena itu ada di dalam keluarga dan karena itu bukan status permanen, Taliban mungkin tidak akan (dari itu)," kata Barfield.
Tidak jelas dari mana praktik bacha posh berasal atau berapa umurnya dan tidak mungkin untuk mengetahui seberapa luas penyebarannya. Tradisi yang agak mirip ada di Albania, masyarakat lain yang sangat patriarkal, meskipun terbatas pada orang dewasa.