REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Pada 17 Januari 1991, Perang Teluk Persia dimulai. Perang ini dipicu oleh pendudukan Irak atas Kuwait pada Agustus 1990.
Presiden Irak kala itu Saddam Hussein memerintahkan pendudukan Kuwait dengan maksud mendapatkan cadangan minyaknya yang besar, membatalkan utang Irak kepada Kuwait, dan memperluas kekuasaan Irak di kawasan itu. Seperti dilansir laman History, Senin (17/1), Hussein memerintahkan invasi dan pendudukan negara tetangga Kuwait pada 2 Agustus 1990.
Kuwait kemudian meminta bantuan negara kekuatan Arab seperti Arab Saudi dan Mesir hingga meminta Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lainnya untuk campur tangan. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan Irak untuk menarik diri dari Kuwait dan kemudian melarang perdagangan dengan Irak. Hussein menentang tuntutan Dewan Keamanan PBB pada pertengahan Januari 1991. Perang Teluk Persia akhirnya dimulai.
Serangan udara besar-besaran pimpinan AS yang dikenal sebagai Operasi Badai Gurun terjadi. Personel pasukan koalisi yang bersiap melawan Irak berjumlah 750 ribu, termasuk 540 ribu personel AS dan pasukan yang lebih kecil dari Inggris, Prancis, Jerman, Uni Soviet, Jepang, Mesir, dan Arab Saudi.
Setelah 42 hari serangan tanpa henti oleh koalisi sekutu di udara dan di darat, Presiden AS George HW Bush mengumumkan gencatan senjata pada 28 Februari. Pada saat itu, sebagian besar pasukan Irak di Kuwait telah menyerah atau melarikan diri.
Meskipun Perang Teluk Persia pada awalnya dianggap sebagai keberhasilan yang tidak memenuhi syarat untuk koalisi internasional, konflik yang membara di wilayah yang bermasalah menyebabkan Perang Teluk kedua. Ini dikenal sebagai Perang Irak yang dimulai pada tahun 2003.