Penggusuran dilakukan pada Rabu (19/1/2022) menjelang fajar, ketika aparat kepolisian Israel menyambangi rumah keluarga Salhiya di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur. Seorang fotografer AFP menjadi saksi mata bagaimana bangunan dirobohkan dengan menggunakan alat berat.
"Kepolisian Israel menyelesaikan eksekusi penggusuran bangunan ilegal di atas lahan yang direncanakan untuk sekolah anak-anak berkebutuhan khusus di timur Yerusalem,” tulis kepolisian dalam keterangan persnya.
Polisi mengeklaim "anggota keluarga yang hidup di dalam bangunan ilegal ini sudah diberikan kesempatan berulangkali untuk berinisiatif menyerahkan lahan tersebut.”
Sheikh Jarrah tergolong wilayah rawan konflik sejak polisi berusaha mengusir keluarga Palestina lain dari rumah yang diklaim oleh warga Yahudi pada Mei silam. Buntutnya pemuda Palestina melancarkan demonstrasi di Yerusalem, yang memuncak pada perang dengan Hamas di Jalur Gaza selama 11 hari.
Ketika kepolisian mendatangi kediaman keluarga Salhiya pada Rabu (19/1) pagi, mereka membentengi diri dengan tabung bensin di atap rumah. Sang kepala keluarga, Mahmoud Salhiya mengancam akan membakar diri dan bangunan jika diusir paksa dari rumah sendiri.
"Kami sudah tinggal di sini sejak 1950an,” teriak anggota keluarga Salhiya, Abdalla Ikermawi dari atas atap rumah, seperti dilansir organisasi Komite Sheikh Jarrah. "Kami tidak punya tempat lain untuk dituju,” imbuhnya.
Seorang juru bicara kepolisian mengatakan kepada AFP, pihaknya menahan 18 anggota keluarga dan teman karena "menghalangi perintah pengadilan, melakukan perlawanan dengan kekerasan dan mengganggu ketertiban publik.”
Berebut ruang hidup
Keluarga Salhiya menghadapi ancaman penggusuran sudah sejak 2017. Saat itu pemerintah kota mengalokasikan lahan miliknya untuk pembangunan sekolah.
Pergulatan mereka sempat mengundang perhatian Uni Eropa. Sebuah delegasi diplomat UE dikabarkan menyambangi lokasi kejadian pada Senin (17/1) silam. Sven Kuehn von Burgsdoff, Kepala Misi Uni Eropa di Tepi Barat dan Jalur Gaza, mengatakan kepada AFP bawa "di wilayah yang diduduki, penggusuran paksa adalah pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional.”
Saat itu polisi yang datang untuk melaksanakan perintah penggusuran akhirnya membubarkan diri.
Wakil Walikota Yerusalem, Hassan-Nahoum, mengatakan tanah yang diklaim Keluarga Salhiya sebagai milik mereka sebenarnya dipunyai oleh seorang warga Palestina yang menjualnya kepada pemerintah kota.
Pemerintah lalu menetapkan lahan tersebut sebagai lokasi pembangunan sebuah sekolah istimwa bagi anak-anak Palestina berkebutuhan khusus.
Hassan-Nahoum merasa "sangat kecewa” oleh diplomat Eropa yang "datang untuk mengurusi masalah konstruksi dan rencana tata ruang di tingkat kota, serta berbicara tentang pelanggaran hukum internasional.”
Saat ini ratusan warga Palestina di timur Yerusalem terancam penggusuran paksa. Kebanyakan merupakan keuturunan para pengungsi yang melarikan diri ketika kampung halamannya diduduki Israel dalam Perang 1948.
Konflik properti antara lain dipicu oleh klaim warga atau organisasi Yahudi yang mengaku tanah direbut paksa setelah perang kemerdekaan. Adapun warga Palestina menerima lahan tersebut secara sah dari pemerintah Yordania yang menguasai Yerusalem Timur hingga 1967 sebelum direbut oleh Israel.
rzn/hp (afp,rtr)