REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Sumber diplomatik Prancis mengatakan kemajuan perundingan untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir Iran 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) tidak masuk dalam inti negosiasi. Ia menambahkan diperlukan perubahan pendekatan menjelang Februari yang menentukan.
Perundingan tidak langsung antara Iran dan Amerika Serikat (AS) untuk menyelamatkan JCPOA dimulai kembali hampir dua bulan yang lalu. Sebelumnya diplomat-diplomat Barat sudah memberi tanda mereka berharap dapat meraih kemajuan dalam dua beberapa pekan ke depan.
Namun perbedaan tajam antara kedua belah pihak masih menjadi isu yang belum terselesaikan. Iran menolak tenggat waktu yang diajukan negara-negara Barat.
"Terdapat kemajuan parsial, lambat dan kaku pada subjek yang bukan subjek dari inti negosiasi yang kami ketahui merupakan yang paling penting," kata sumber yang tidak ingin disebutkan namanya, Kamis (20/1/2022).
Hal ini disampaikan setelah Inggris, Prancis, Jerman bertemu dengan AS di Berlin. "Kami tidak akan dapat melakukannya (kembali ke kesepakatan) bila Iran terus berada di jalur level nuklir dan bila proses negosiasi dilakukan dengan cara yang sama," tambahnya.
Dalam putaran kedelapan negosiasi untuk menghidupkan kembali JCPOA, Iran menambah tuntutan baru. Putaran ini merupakan negosiasi pertama di masa pemerintah Presiden Iran yang baru Ebrahim Raisi.
Iran menolak untuk bertemu langsung dengan pejabat pemerintah AS sehingga pihak lain dalam perjanjian JCPOA yakni Inggris, Cina, Prancis, Jerman dan Rusia harus menjadi perantara. Sumber tidak menetapkan tenggat waktunya tapi ia mengatakan tren saat ini tidak dapat dipertahankan.
"Saya kira kami perlu mengubah pendekatan, saya pikir bulan Februari sangat menentukan, kami tidak bisa terus seperti ini di Wina dengan jalur saat ini pada bulan Maret, April, Mei dan seterusnya," katanya.