Jumat 21 Jan 2022 19:38 WIB

Alat Pemindai Keamanan di Seluruh Eropa Terkait dengan Pemerintah Cina

Otoritas keamanan Eropa khawatirkan kemampuan China menyabotase data.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Friska Yolandha
Penumpang berjalan di sebelah pemindai keamanan Nuctech di termintal kereta Brussels Eurostar, Senin (17/1/2022). Semakin banyak pejabat keamanan khawatir bahwa China dapat mengeksploitasi peralatan Nuctech.
Foto: AP Photo/Erika Kinetz
Penumpang berjalan di sebelah pemindai keamanan Nuctech di termintal kereta Brussels Eurostar, Senin (17/1/2022). Semakin banyak pejabat keamanan khawatir bahwa China dapat mengeksploitasi peralatan Nuctech.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Beberapa tempat paling sensitif di dunia, pihak berwenang telah memasang perangkat pemeriksaan keamanan yang dibuat oleh satu perusahaan China yang memiliki ikatan mendalam dengan militer negara itu. Kondisi ini pun menimbulkan kekhawatiran pengaksesan data yang bisa dilihat Pemerintah China.

Menurut catatan pengadaan publik, pemerintah, dan perusahaan yang ditinjau Associated Press, perusahan telah membuat terobosan jauh di seluruh Eropa, memasang perangkatnya di 26 dari 27 negara anggota Uni Eeropa (UE). Kompleksitas struktur kepemilikan Nuctech dan jejak globalnya yang berkembang telah menimbulkan kekhawatiran di kedua sisi Atlantik.

Baca Juga

Perusahaan yang berhasil membuka kantor di Brussel, Madrid dan Roma, mengatakan telah memasok pelanggan di lebih dari 170 negara dan wilayah. Nuctech mengatakan pada 2019 bahwa telah memasang lebih dari 1.000 perangkat pemeriksaan keamanan di Eropa untuk bea cukai, penerbangan sipil, pelabuhan, dan organisasi pemerintah. Empat dari lima negara anggota NATO yang berbatasan dengan Rusia, yaitu Estonia, Latvia, Lithuania, Polandia, telah membeli peralatan Nuctech untuk penyeberangan perbatasan mereka dengan Rusia. Begitu juga Finlandia.

Sebanyak dua pelabuhan terbesar di Eropa, Rotterdam dan Antwerp, yang bersama-sama menangani lebih dari sepertiga barang, menggunakan perangkat Nuctech. Negara-negara kunci lainnya di tepi UE, termasuk Inggris, Turki, Ukraina, Albania, Belarusia, dan Serbia juga telah membeli pemindai Nuctech, beberapa di antaranya disumbangkan atau dibiayai dengan pinjaman berbunga rendah dari bank-bank pemerintah China.

Bandara di London, Amsterdam, Brussel, Athena, Florence, Pisa, Venesia, Zurich, Jenewa dan lebih dari selusin di seluruh Spanyol semuanya telah menandatangani kesepakatan untuk peralatan Nuctech. Nuctech mengatakan pihaknya menyediakan peralatan keamanan untuk Olimpiade di Brasil pada 2016, kemudian kunjungan Presiden Donald Trump ke China pada 2017 dan Forum Ekonomi Dunia pada 2020. Nuctech juga menyediakan peralatan untuk beberapa organisasi PBB.

Semakin banyak pejabat keamanan dan pembuat kebijakan Barat khawatir bahwa China dapat mengeksploitasi peralatan Nuctech. Mereka mempertimbangkan kemampuan Beijing untuk menyabot titik transit utama atau mendapatkan akses ilegal ke data pemerintah, industri, atau pribadi dari barang-barang yang melewati perangkatnya.

Kritikus Nuctech menuduh pemerintah China telah secara efektif mensubsidi perusahaan sehingga dapat melemahkan pesaing. Beijing diduga memberi potensi kekuasaan atas infrastruktur penting di Barat ketika negara itu berusaha untuk memantapkan dirinya sebagai negara adidaya teknologi global.

"Data yang diproses oleh perangkat ini sangat sensitif. Ini data pribadi, data militer, data kargo. Mungkin rahasia dagang dipertaruhkan," ujar direktur keamanan siber di Kementerian Pertahanan Belanda sebelum menjadi anggota Parlemen Eropa, Bart Groothuis, menyatakan Eropa tidak memiliki alat untuk memantau dan menolak potensi perambahan semacam itu.  

Nuctech menolak kekhawatiran yang ada dan operasi perusahaan di Eropa mematuhi undang-undang setempat, termasuk pemeriksaan keamanan yang ketat dan aturan privasi data. "Ini peralatan kami, tapi ini data Anda. Pelanggan kami memutuskan apa yang terjadi dengan data tersebut,” kata wakil manajer umum Nuctech di Belanda, tempat perusahaan memiliki pusat penelitian dan pengembangan, Robert Bos.

 

sumber : ap
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement