REPUBLIKA.CO.ID, VATIKAN -- Paus Fransiskus menyuarakan keprihatinannya atas meningkatnya ketegangan di perbatasan Ukraina. Dia menyerukan para pihak yang terlibat dalam memanasnya tensi di Ukraina memprioritaskan dialog.
“Saya mengikuti dengan keprihatinan atas meningkatnya ketegangan yang mengancam akan menimbulkan pukulan baru bagi perdamaian di Ukraina, dan mempertanyakan keamanan benua Eropa, dengan dampak yang lebih luas lagi,” kata Paus Fransiskus dalam pidatonya di Lapangan Santo Petrus, Ahad (23/1/2022), dikutip laman TRT World.
Dia menyerukan jemaat di lapangan tersebut berdoa agar setiap tindakan dan inisiatif politik yang diambil melayani persaudaraan manusia, bukan kepentingan partisan. “Siapa pun yang mengejar tujuannya sendiri dengan merugikan orang lain, mengabaikan panggilannya sendiri sebagai manusia. Karena kita semua diciptakan bersaudara,” ucapnya.
Ia menyerukan para pihak yang terlibat dalam isu Ukraina mendahulukan dialog. "Untuk alasan ini dan dengan keprihatinan, mengingat ketegangan saat ini, saya mengusulkan agar Rabu (pekan) depan, 26 Januari, menjadi hari doa untuk perdamaian," kata Paus Fransiskus.
Pada Jumat (21/1/2022) lalu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavron bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken untuk membahas ketegangan di Ukraina. Namun mereka gagal membuat terobosan besar. Kendati demikian, keduanya sepakat melanjutkan dialog.
AS, termasuk NATO telah menyatakan dukungannya untuk Ukraina. Mereka menyebut Rusia mempunyai rencana atau niatan untuk melancarkan agresi terhadap tetangganya tersebut. Moskow telah membantah tudingan itu.
Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak Februari 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia Viktor Yanukovych. Dia dimakzulkan setelah gelombang demonstrasi berlangsung tanpa henti selama tiga bulan.
Massa memprotes keputusan Yanukovych membatalkan kerja sama dengan Uni Eropa. Keputusan tersebut ditengarai akibat adanya tekanan Moskow. Rusia memang disebut tak menghendaki Kiev lebih dekat atau bergabung dengan Uni Eropa.
Ukraina membentuk pemerintahan baru pascapelengseran Yanukovych. Namun, Rusia menentang dan memandang hal tersebut sebagai kudeta. Tak lama setelah kekuasaan Yanukovych ditumbangkan, Moskow melakukan aksi pencaplokan Semenanjung Krimea.
Kala itu terdapat kelompok pro-Uni Eropa dan pro-Rusia di Ukraina. Kelompok separatis pro-Rusia merebut sebagian besar dua wilayah timur Ukraina yang dikenal sebagai Donbass. Pertempuran pun berlangsung di sana dan telah memakan 14 ribu korban jiwa. Hingga kini, ketegangan masih terjadi di wilayah tersebut.