REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia Dmitry Medvedev mengatakan, Ukraina telah dijadikan “mainan” oleh Amerika Serikat (AS) dan NATO. Menurut dia, Kiev digunakan sebagai alat tekanan geopolitik terhadap Rusia.
"Sayangnya, Ukraina sampai taraf tertentu menjadi mainan di tangan NATO dan, terutama, AS, karena Ukraina digunakan sebagai instrumen tekanan geopolitik di Rusia," kata Medvedev, dikutip laman kantor berita Rusia, TASS, Kamis (27/1/2022).
Dia pun meyakini, betapapun fakta ini menyedihkan, Ukraina sebenarnya tak dibutuhkan oleh AS dan Eropa. "Tapi itu adalah argumen dalam permainan geopolitik melawan Rusia, dan, sampai batas tertentu, bahkan melawan China. Jadi ketegangan ini pertama-tama dan terutama terkait dengan ini. Di sisi lain, ketegangan ini terkait dengan arah yang telah ditentukan. dilaksanakan oleh otoritas Ukraina dalam beberapa tahun terakhir," ujar Medvedev.
Ketegangan di perbatasan Ukraina-Rusia kembali meningkat sejak Rusia dilaporkan mengerahkan lebih dari 100 ribu pasukannya ke zona terdepan. Moskow juga menempatkan ribuan tentaranya di perbatasan Ukraina di utara dengan Belarus. AS dan NATO telah menuding Rusia memiliki intensi untuk melancarkan agresi ke Kiev.
Namun Rusia membantah tudingan tersebut. Moskow mengklaim pengerahan pasukan itu hanya untuk keperluan latihan militer rutin. Kendati demikian, AS dan NATO telah menyatakan dukungannya kepada Ukraina. Mereka pun sudah mengancam akan menjatuhkan sanksi jika Rusia melancarkan serangan.
Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak Februari 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Pelengseran itu merupakan buntut atas keputusan Yanukovych membatalkan kerja sama dengan Uni Eropa. Rusia dituding menekan Yanukovych untuk mengambil keputusan itu. Moskow memang disebut tak menghendaki Kiev lebih dekat atau bergabung dengan Uni Eropa.
Ukraina membentuk pemerintahan baru pasca-pelengseran Yanukovych. Namun Rusia menentang dan memandang hal tersebut sebagai kudeta. Tak lama setelah kekuasaan Yanukovych ditumbangkan, Moskow melakukan aksi pencaplokan Semenanjung Krimea. Kala itu terdapat kelompok pro-Uni Eropa dan pro-Rusia di Ukraina. Kelompok separatis pro-Rusia merebut sebagian besar dua wilayah timur Ukraina yang dikenal sebagai Donbass. Pertempuran pun berlangsung di sana dan telah memakan 14 ribu korban jiwa.