Kamis 27 Jan 2022 20:43 WIB

Korea Utara Kembali Buka Perdagangan dengan China

Kereta barang Korea Utara pertama melintasi Sungai Yalu pekan lalu.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Truk melintasi jembatan yang menghubungan antara Korea Utara dan China di perbatasan Dandong, China. China dikabarkan telah memulihkan lalu lintas barang kereta api dengan Korea Utara pada Senin 17 Januari 2022.
Foto:

Kepemimpinan Pyongyang tahu bahwa wabah besar Covid-19 akan menghancurkan, karena sistem perawatan kesehatan Korea Utara yang buruk. Pandemi juga dapat memicu kerusuhan sosial karena Korea Utara mengalami kekurangan makanan.

Pejabat Korea Selatan mengatakan bahwa, Korea Utara membentuk zona desinfeksi dalam beberapa bulan terakhir di kota-kota perbatasan dan pelabuhan. Pada Oktober, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, Korea Utara mulai menerima pengiriman pasokan medis yang diangkut lewat jalur laut dari Cina melalui pelabuhan Nampo.

Pembukaan kembali perdagangan Korea Utara dengan China akan didorong oleh impor. Sebagian besar kegiatan ekspor utama Korea Utara diblokir di bawah sanksi internasional yang diperketat sejak 2016, setelah Kim mempercepat pengembangan nuklir dan rudal.

Korea Utara kemungkinan fokus pada impor pupuk untuk meningkatkan produksi pangan. Negara tersebut juga membutuhkan bahan-bahan konstruksi untuk proyek-proyek pembangunan yang penting. Barang-barang pabrik dan mesin-mesin sangat penting untuk menghidupkan kembali produksi industri, yang telah hancur oleh penghentian perdagangan selama dua tahun.

Namun, para ahli memperkirakan tingkat perdagangan Korea Utara dengan China secara signifikan lebih kecil daripada sebelum pandemi. Korea Utara tidak dapat membeli barang dalam jumlah besar karena sanksi, dan  pandemi telah menipiskan cadangan mata uang asing.

"Namun, jelas bahwa Korea Utara bukanlah negara yang dapat bertahan tanpa impor selama dua atau tiga tahun, jadi pasti mereka akan berusaha untuk meningkatkan impor secara perlahan dalam lingkup terbatas," kata seorang analis di Seoul's Institut Studi Kebijakan Asan, Go Myong-hyun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement