Sabtu 29 Jan 2022 14:41 WIB

Biden Sebut Tidak Akan Incar Rakyat Rusia

Pengendalian ekspor akan diumumkan sebagai bagian dari paket sanksi.

 Presiden Joe Biden menyebut sanksi pembatasan ekspor Rusia tidak akan membidik rakyat Rusia. Foto Joe Biden (ilustrasi)
Foto: AP/Andrew Harnik
Presiden Joe Biden menyebut sanksi pembatasan ekspor Rusia tidak akan membidik rakyat Rusia. Foto Joe Biden (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, tidak akan membebani rakyat Rusia dari sanksi-sanksi ekspor AS, yang diberlakukan pada Rusia bila Moskow memutuskan menginvasi Ukraina. Gedung Putih mengatakan sanksi-sanksi itu akan fokus pada sektor industri.

Dalam pidato yang terpisah pada Jumat (28/1/2022), pejabat Kementerian Perdagangan mengatakan "orang-orang penting" juga akan menerima "sanksi-sanksi berat." Pernyataan ini mempersempit potensi ruang lingkup sanksi terhadap impor Rusia.

Baca Juga

 

Sebelumnya, Washington dan negara-negara Barat lainnya mengatakan, sanksi-sanksi tersebut akan mengganggu perekonomian Rusia. Merusak sektor industri dan konsumen teknologi seperti telepon pintar.

"Kami tidak dapat meninjau setiap tindakan, tapi niatnya mengambil langkah yang kami kira dapat menurunkan kapabilitas industri dan kapasitas produksi industri Rusia dari waktu ke waktu, tidak mengincar individu, konsumen Rusia sehari-hari," kata pejabat keamanan nasional Gedung Putih Peter Harrell dalam pidato virtual untuk Massachusetts Export Center, Kamis (27/1/2022).

Harrell yang menjabat sebagai anggota Dewan Keamanan Nasional mengatakan AS segera memberlakukan sanksi ketika Rusia menginvasi Ukraina.

"(Sanksi-sanksi itu membebani) lembaga keuangan utama Rusia dengan kerugian finansial yang melumpuhkan serta mencakup berbagai pengendalian ekspor yang akan menurunkan kapasitas industri Rusia pada jangka menengah dan panjang," katanya.

Sementara itu pejabat Departemen Perdagangan AS Thea Kendler mengatakan AS sedang mempertimbangkan sanksi yang berat. "Yang mengincar orang-orang dan industri penting yang tidak masuk daftar sanksi tahun 2014," katanya.

AS memberlakukan sanksi ketika Rusia menginvasi dan menganeksasi Krimea dari Ukraina. Tiga hari yang lalu Presiden Biden mengatakan mempertimbangkan sanksi individu terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin bila ia mengirim pasukannya ke Ukraina.

Harrell mengatakan ia berharap agar rencana sanksi yang ia dan rekan-rekannya siapkan selama berbulan-bulan tidak perlu diberlakukan. Tapi mereka telah menyiapkan langkah-langkah menyeluruh.

Strategi dua tingkat ini meliputi sanksi-sanksi finansial terhadap lembaga keuangan Rusia besar. "Untuk memicu pelarian modal, memicu inflasi, membuat bank sentral Rusia menyediakan dana talangan pada bank-bank, sehingga Putin sudah merasakan kerugian di hari pertama," kata Harrell.

Langkah pengendalian ekspor akan diumumkan sebagai bagian dari paket sanksi. Tapi tidak akan memicu dampak cepat seperti sanksi-sanksi yang telah dijelaskan sebelumnya dan lebih pada "menurunkan kemampuan produksi industri di beberapa sektor utama Rusia."

Harrell tidak menyebutkan sektor-sektor apa saja tapi pejabat Gedung Putih lainnya menyinggung tentang sektor penerbangan, maritim, robotik, kecerdasan artifisial, komputer kuantum dan pertahanan.

Sumber yang mengetahui hal ini mengatakan fokusnya pada sektor strategis yang signifikan bagi pemimpin-pemimpin Rusia. Ketika dinyata apakah sektor gas dan minyak termasuk, sumber mengatakan tidak ada sektor yang tidak dipertimbangkan.

Juru bicara Gedung Putih Emily Horne juga mengatakan opsinya tidak terbatas. "Kontrol ekspor dan sanksi-sanksi kami dan sekutu-sekutu kami yang berdampak besar dengan cakupan luas siap dijalankan, tepat ketika Rusia menggelar invasi dan gelombang lain akan menyusul," kata Horne.

Harrell mengatakan ia berharap Uni Eropa bergabung dengan upaya tersebut. "Berdasarkan diskusi yang telah kami lakukan dan jujur, orang-orang di atas saya, kami juga percaya diri kami tingkat keselarasan kami dengan Eropa sangat tinggi bila Rusia menginvasi Ukraina," kata Horne. n Lintar Satria/Reuters

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement