REPUBLIKA.CO.ID, UKRAINA – Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyerukan Rusia mengambil langkah konkret untuk meredakan ketegangan yang melibatkan kedua negara. Dia pun menyatakan kesiapannya terlibat dalam dialog.
Zelensky mengatakan, jika Rusia memiliki masalah dengan Ukraina, pertemuan dan dialog diperlukan untuk membahasnya. Bukan dengan sepihak memboyong pasukan ke perbatasan dan melakukan intimidasi terhadap warga sipil. “Saya bersedia bertemu dan saya tidak takut format apa pun. Format bilateral… saya siap untuk format apa pun,” ujarnya, Sabtu (29/1), dikutip Anadolu Agency.
Zelensky menekankan, sebagai pemimpin Ukraina, adalah tugasnya untuk mengetuk semua pintu, mengimbau semua pemimpin dunia, dan mengusulkan format serta platform yang berbeda guna “mengembalikan perdamaian" ke negaranya. Dalam hal ini, dia ingin Amerika Serikat (AS) terlibat dalam negosiasi untuk meredakan ketegangan.
“Saya ingin Presiden (Joe) Biden dapat melakukan itu sehingga kami memiliki platform negosiasi dalam format AS-Ukraina-Rusia,” kata Zelensky, seraya menambahkan bahwa itu dapat berlangsung secara paralel dengan proses negosiasi Normandia.
"Setiap saat, saya mengusulkan langkah-langkah tertentu dari negara kami. Dan saya yakin Presiden Biden dapat membantu kita," ujar Zelensky menambahkan.
Kepada rakyat Ukraina, Zelensky meminta mereka tak panik tentang kemungkinan perang dengan Rusia. "Di Inggris, Jerman, Prancis, dan Lituania, pers memberi kesan bahwa ada perang (di Ukraina). Tapi tidak demikian. Kita tidak perlu kepanikan ini," ucapnya.
Kendati demikian, dia menekankan, Ukraina tetap mempersiapkan skenario jika peperangan terjadi. “Saya percaya bahwa persiapan militer dan diplomasi yang tenang harus diterapkan,” katanya.
Ketegangan di perbatasan Ukraina-Rusia kembali meningkat sejak Rusia dilaporkan mengerahkan lebih dari 100 ribu pasukannya ke zona terdepan. Moskow juga menempatkan ribuan tentaranya di perbatasan Ukraina di utara dengan Belarus. AS dan NATO telah menuding Rusia memiliki intensi untuk melancarkan agresi ke Kiev.
Namun Rusia membantah tudingan tersebut. Moskow mengklaim pengerahan pasukan itu hanya untuk keperluan latihan militer rutin. Kendati demikian, AS dan NATO telah menyatakan dukungannya kepada Ukraina. Mereka pun sudah mengancam akan menjatuhkan sanksi jika Rusia melancarkan serangan.
Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak Februari 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Pelengseran itu merupakan buntut atas keputusan Yanukovych membatalkan kerja sama dengan Uni Eropa. Rusia dituding menekan Yanukovych untuk mengambil keputusan itu. Moskow memang disebut tak menghendaki Kiev lebih dekat atau bergabung dengan Uni Eropa.
Ukraina membentuk pemerintahan baru pasca-pelengseran Yanukovych. Namun Rusia menentang dan memandang hal tersebut sebagai kudeta. Tak lama setelah kekuasaan Yanukovych ditumbangkan, Moskow melakukan aksi pencaplokan Semenanjung Krimea. Kala itu terdapat kelompok pro-Uni Eropa dan pro-Rusia di Ukraina. Kelompok separatis pro-Rusia merebut sebagian besar dua wilayah timur Ukraina yang dikenal sebagai Donbass. Pertempuran pun berlangsung di sana dan telah memakan 14 ribu korban jiwa.