Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani kepada stasiun televisi Aljazirah mengabarkan Selasa (1/2/2022), pihaknya secara aktif menggunakan kanal diplomasi untuk memediasi antara Washington dan Teheran.
Hal ini diungkapkan menlu Qatar setelah Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, menjamu Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani, di Gedung Putih, Senin (31/1/2022) kemarin.
Menlu Abdulrahman al-Thani sempat berkunjung ke Teheran pekan lalu. Di sana dia menemui rekan sejawatnya, Hossein Amirabdollahian, pada Kamis (27/1), sehari setelah yang bersangkutan dikabarkan berbicara via telepon dengan Menlu AS, Anthony Blinken.
Ini bukan kali pertama Qatar berusaha memediasi Iran dan AS dalam upaya menghidupkan kembali Perjanjian Nuklir 2015 setelah digugurkan sepihak olah Presiden AS sebelumnya, Donald Trump.
Dalam sebuah kicauan di Twitter menyusul pertemuan dengan al-Thani, Menlu Iran Amirabdollahian, Kamis lalu kembali mengungkapkan skepsisme terhadap keseriusan Amerika serikat.
"Dalam isu pencabutan sanksi, kepentingan Iran harus diwujudkan sepenuhnya, dan sesuatu yang kongkrit harus terjadi di lapangan,” tulisnya.
Akselerasi diplomasi
AS mengakui negosiasi nuklir di Wina, Austria, sedang memasuki masa kritis. Kedua negara terlibat tarik ulur dalam isu sanksi ekonomi dan program nuklir.
Teheran bersikeras AS harus terlebih dulu mencabut sanksi, sebagai syarat penghentian program nuklir negara itu. Washington sebaliknya menyatakan, agar Iran terlebih dahulu mengurangi aktivitas nuklirnya sebelum sanksi ekonomi bisa dicabut.
"Kita sudah berada di fase terakhir,” kata seorang pejabat Kemenlu AS kepada AP. "Seperti yang sudah kami tekankan sejak beberapa waktu, hal ini tidak bisa terus berlanjut karena perkembangan nuklir Iran,” imbuhnya.
Putaran negosiasi yang digalang Jerman, Prancis dan Inggris atau yang disebut kelompok E3, bersama Rusia dan Cina di ibukota Austria, Vienna, sejauh ini belum mampu mendekatkan kedua negara.
Pejabat Kemenlu AS yang enggan disebut identitasnya itu mengatakan, pihaknya tidak sedang "mengancam” atau membuat "tenggat waktu artifisial,” tapi menegaskan "kita hanya punya beberapa pekan untuk mencapai kesepakatan,” sebelum Perjanjian Nuklir 2015 tamat untuk selamanya.
Bekas Presiden Trump beserta Partai Republik dan bahkan sebagian petinggi Partai Demokrat, Perjanjian Nuklir dituntut harus ikut membatasi program peluru kendali dan dukungan Iran terhadap kelompok bersenjata di Timur Tengah.
"Namun Presiden Joe Biden siap menanggung risiko politik di dalam negeri untuk menghidupkan kembali Perjanjian Nuklir 2015, tanpa butir tambahan", kata seorang pejabat Kemenlu lain kepada harian New York Times, Senin (31/1).
Menurutnya, nasib kesepakatan tersebut kini sepenuhnya bergantung di tangan Iran dan Ayatollah Ali Khamenei.
rzn/as (rtr,ap)