REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Keamanan (DK) PBB mengatakan pada Rabu (2/2/2022) bahwa pihaknya sangat prihatin dengan keadaan darurat yang terus diberlakukan oleh militer di Myanmar. PBB mendorong pembicaraan untuk menyelesaikan situasi itu sesuai dengan keinginan dan kepentingan rakyat Myanmar.
Dalam sebuah pernyataan yang disepakati secara mufakat untuk menandai peringatan kudeta 1 Februari, dewan beranggotakan 15 negara itu kembali menyerukan pembebasan semua orang yang masih ditahan secara sewenang-wenang, termasuk pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint.
Kudeta di Myanmar memicu pemogokan dan protes yang menyebabkan sekitar 1.500 warga sipil tewas dalam tindakan keras oleh junta dan sekitar 11.800 ditahan secara tidak sah, menurut angka kantor hak asasi manusia PBB. DK PBB menyerukan diakhirinya semua kekerasan di seluruh negeri demi melindungi warga sipil.
"Anggota Dewan Keamanan menyatakan keprihatinan mendalam atas kekerasan lebih lanjut baru-baru ini di negara itu dan menyatakan kekhawatiran atas sejumlah besar pengungsi dalam negeri. Mereka mengutuk serangan terhadap infrastruktur, termasuk fasilitas kesehatan dan pendidikan," kata DK PBB.
Pernyataan itu juga mengulangi seruan dewan untuk melakukan dialog dengan semua pihak terkait, dan rekonsiliasi sesuai dengan keinginan dan kepentingan rakyat Myanmar.
Junta Myanmar sekarang menghadapi perlawanan bersenjata dari milisi dan pemberontak etnis minoritas yang bersekutu dengan pemerintah bayangan.