REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Angkatan Laut Rusia menggelar latihan berskala besar di Laut Hitam, Sabtu (12/2/2022). Kegiatan itu dilaksanakan saat ketegangan antara Moskow dan Ukraina masih berlangsung.
“Lebih dari 30 kapal dari armada Laut Hitam turun ke laut dari Sevastopol dan Novorossiysk sesuai dengan rencana latihan,” kata Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Rusia dalam sebuah pernyataan Sabtu pagi.
Menurut Kemenhan Rusia, tujuan dari latihan itu adalah untuk mempertahankan pantai Semenanjung Krimea, pangkalan pasukan armada Laut Hitam, serta sektor ekonomi negara dari kemungkinan ancaman militer.
Latihan Angkatan Laut Rusia di Laut Hitam berlangsung setelah Amerika Serikat (AS) memperingatkan bahwa Moskow dapat melancarkan serangan ke Ukraina dalam waktu dekat.
Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat Jake Sullivan mengatakan, agresi Rusia ke Ukraina kemungkinan dimulai dengan serangan udara dan rudal. Washington telah meminta warganya yang berada di Ukraina untuk meninggalkan negara tersebut.
Keluarga dari para diplomat Amerika Serikat yang berdinas di sana pun sudah diminta pulang. Beberapa negara mengikuti langkah Amerika Serikat dan meminta warganya segera keluar dari Ukraina.
Merespons peringatan itu, Rusia menilai Amerika Serikat menyebarkan histeria. “Histeria Gedung Putih lebih terbuka dari sebelumnya. Anglo-Saxon membutuhkan perang. Dengan semua konsekuensinya. Provokasi, disinformasi, dan ancaman adalah metode favorit mereka untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri,” tulis juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova di Telegram.
Selain Amerika Serikat, Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) juga telah menuding Rusia merencanakan serangan terhadap Ukraina.
Hal itu berlandaskan keputusan Moskow mengerahkan lebih dari 100 ribu pasukannya ke perbatasan Ukraina. Kremlin telah membantah tuduhan-tuduhan tersebut.
Kendati demikian, Rusia menuntut jaminan keamanan kepada Barat. Salah satu tuntutannya adalah bahwa Ukraina tidak akan diizinkan bergabung dengan NATO.
Moskow memandang, hal tersebut dapat menimbulkan ancaman keamanan baginya. NATO menyatakan, mereka masih mempertahankan prinsip “pintu terbuka”.
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina sudah berlangsung sejak 2014, yakni ketika Moskow mencaplok Krimea.