Hingga akhir Februari mendatang, Panel Iklim PBB (IPCC) sudah harus memublikasikan Laporan Asesmen keenam (AR6) tentang kondisi termutakhir iklim Bumi. Laporan tersebut akan dirampungkan dalam sebuah konferensi virtual, yang dihadiri ilmuwan dan perwakilan pemerintahan dari 200 negara, mulai Senin, (14/2/2022).
Laporan teranyar IPCC diyakini akan memuat katalog muram yang memuat dampak bencana iklim terhadap seluruh aspek kehidupan manusia. Ia juga menggambarkan perspektif masa depan, serta risiko atau keuntungan yang didapat dengan beradaptasi terhadap iklim yang lebih hangat.
"Kami mengkhawatirkan iklim yang terus berubah di sekitar kita,” kata Direktur IPCC, Debra Roberts, ilmuwan iklim Afrika Selatan. "Tapi bagi sebagian besar orang, dalam kesehariannya mereka ingin mengetahui apa dampaknya bagi kehidupan mereka, bagi aspirasi, bagi pekerjaan, keluarga dan lingkungan yang mereka huni?.”
Laporan itu mengandung tujuh bab "mengenai bagaimana perubahan fisik dalam perubahan iklim berdampak pada kehidupan orang,” terutama di kawasan perkotaan, kata dia.
Bahkan tanpa mengkaji laporan IPCC terlebih dulu, pegiat lingkungan sudah memprediksi datangnya "mimpi buruk” buat warga Bumi.
"Laporan IPCC yang menampilan bukti menakutkan tentang eskalasi dampak perubahan iklim akan disajikan dalam bentuk mimpi buruk yang digambarkan dalam bahasa ilmiah yang kering,” tutur Teresa anderson, Direktur Keadilan Iklim di lembaga ActionAid International, dalam keterangan persnya.
Pencegahan sebelum adaptasi
Selama dua pekan kedepan, ilmuwan dan perwakilan pemerintah akan saling mendebatkan rancangan naskah akhir, termasuk soal tata bahasa. Konvensinya sendiri dibuka untuk publik pada Senin (14/2) di Berlin, Jerman. Adapun naskah rancangan yang sudah beredar, bisa berubah secara drastis di fase terakhir ini.
Menurut rencana, setelah memublikasikan AR6 yang menyimpulkan kondisi terakhir iklim, IPCC juga akan memublikasikan laporan lain tentang adaptasi dan solusi bencana iklim pada Maret depan.
Tanpa memerinci lebih dalam, salah seorang pembuat studi, Hans-Otto Poertner, menyebutkan betapa sains sudah memprediksi batasan pada kenaikan suhu rata-rata atau pada kepunahan keragaman hayati. Menurutnya, batasan itu sudah kian dekat di berbagai tempat.
"Kita kehilangan ruang hidup bagi flora dan fauna, serta untuk diri kita sendiri,” kata ilmuwan Jerman itu. "Karena dengan perubahan iklim, sejumlah tempat di permukaan Bumi akan menjadi tidak layak huni.”
Dia mengritik sikap negara-negara kaya yang sudah mempersiapkan diri menghadapi bencana, bukan mencegahnya.
"Ada asumsi jika kita tidak bisa mengontrol perubahan iklim, maka kita pasrah dan berusaha beradaptasi saja. Jadi, kita beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Ini adalah pendekatan yang mengandalkan ilusi,” tukasnya lagi.
Laporan IPCC akan menjadi peringatan keras bagi hampir semua negara, betapa kebijakan kecil tidak lagi cukupuntuk menangkal bencana iklim. "Anda tidak hanya bisa mengandalkan perubahan kecil,” kata, ilmuwan iklim IPCC, Debra Roberts. "Anda membutuhkan perubahan yang sistematis.”
rzn/hp (ap, rtr)