Kamis 17 Feb 2022 14:40 WIB

Presidensi G20 Jadi Peluang Indonesia Tunjukkan Pentingnya Pendidikan Pluralisme

Pendidikan lintas agama bisa berimbas jadi pendorong dunia untuk keluar dari krisis.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Friska Yolandha
Menteri Keuangan Uni Emirat Arab Mohamed Bin Hadi Al Hussaini menghadiri pertemuan tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral atau Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting (FMCBG) di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (17/2/2022). Pertemuan yang berlangsung pada 17-18 Februari 2022 itu merupakan rangkaian pertemuan di Jalur Keuangan dalam Presidensi G20 Indonesia yang membawa enam agenda prioritas, yakni exit strategy untuk mendukung pemulihan yang adil, pembahasan scarring effect untuk mengamankan pertumbuhan masa depan, sistem pembayaran di era digital, keuangan berkelanjutan, inklusi keuangan, dan perpajakan internasional.
Foto:

Pluralisme di Afrika

Direktur Eksekutif The Sanneh Institute, Dr John Azumah mengatakan, Afrika merupakan negara yang sangat plural karena memiliki banyak keragaman agama. Di Afrika, lazim ditemui 3-4 agama dalam suatu keluarga.

The Sanneh Institute adalah lembaga berbasis di Ghana, Afrika Barat, berisi komunitas ilmiah yang didedikasikan untuk memperlengkapi dan menyediakan sumber daya bagi pemimpin agama, cendekiawan, lembaga akademik, dan masyarakat Afrika lewat penyelidikan lebih lanjut. Keberadaan The Sanneh Institute terkait erat dengan kondisi di Afrika.

Meskipun mayoritas warga benua itu adalah orang beragama, hanya sedikit penganut bahkan pemuka agama yang mengenal agamanya secara dalam. Hal itu kerap memunculkan prasangka dan stereotip karena sikap picik atau sekadar ketidaktahuan.

"Kita mendapatkan situasi dimana stereotip, prasangka, justru semakin dipupuk dan ini bisa menjadi situasi sangat matang bagi intoleransi, khususnya ekstrimisme dengan kekerasan seperti kita lihat di Afrika," kata Azumah.

Plural di Mata Mereka 

Sementara itu Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti mengatakan, Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi yang mengembangkan Pendidikan Agama Islam (PAI) pluralistis. Pendidikan tersebut memuat bahwa para siswa Kristen di lembaga itu bisa mendapatkan pelajaran agama Kristen. PAI pluralistis bukan sinkretisme (pencampuran ajaran agama), tapi mendorong pengamalan ajaran agama dan menumbuhkan toleransi.

"Itulah sebabnya beberapa murid kami menjadi seorang Kristen Muhammadiyah. Pemeluk agama Kristen atau Katolik, tapi pada saat bersamaan menjadi simpatisan dari organisasi Muhammadiyah, bahkan aktif di beberapa gerakan," kata Prof Mu’ti.

Senior Fellow Institut Leimena dan Mantan Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Prof Alwi Shihab, memberi contoh hubungan tidak bersahabat selama berabad-abad antara agama Abrahamik yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Perasaan getir dan permusuhan, diperkuat oleh literatur berupa opini dan fatwa yang diproduksi dalam situasi permusuhan oleh sebagian pemuka agama masing-masing.

"Adalah tanggung jawab kolektif para pendidik dan pemuka agama masing-masing untuk introspeksi diri dan berusaha kembali ke sikap dan pandangan yang lebih bersahabat. Tujuan ini tidak mungkin tercapai kecuali melalui pendidikan untuk mengoreksi hal-hal yang merupakan sumber konflik dan permusuhan," kata menteri luar negeri tahun 1999-2001 itu.

Senior Fellow University of Washington, Dr. Chris Seiple, mengatakan pendidikan lintas iman ibarat membuat gado-gado, bukan melebur bahan menjadi satu tetapi mempertahankan identitas setiap bahan untuk menjadi suatu perpaduan yang lezat. Sementera Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan pendidikan agama berperan penting dalam masyarakat majemuk karena mempengaruhi bagaimana kita melihat dan memperlakukan mereka yang berbeda agama dan kepercayaan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement