REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden AS Joe Biden dan Kanselir Jerman Olaf Scholz membahas perkembangan militer Rusia di dekat Ukraina dalam panggilan telepon pada Rabu (16/2). Keduanya menggarisbawahi pentingnya memperkuat sayap timur NATO jika Moskow menyerbu. Demikian disampaikan Gedung Putih.
Seorang juru bicara pemerintah Jerman mengatakan kedua pemimpin sepakat bahwa situasi di Ukraina harus dinilai sebagai sangat serius karena masih ada risiko agresi militer Rusia lebih lanjut.
Gedung Putih mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Biden dan Scholz membahas percakapan mereka masing-masing baru-baru ini dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy. Biden dan Scholz menegaskan kembali komitmen mereka terhadap kedaulatan dan integritas wilayah Ukraina dan menggarisbawahi pentingnya koordinasi transatlantik yang berkelanjutan.
"Melalui langkah-langkah diplomasi dan deterensi (tindakan mengecilkan nyali lawan untuk menyerang) dan penguatan sayap timur NATO jika Rusia menginvasi Ukraina lebih lanjut," kata Gedung Putih.
Negara-negara besar terlibat dalam salah satu krisis terdalam dalam hubungan Timur-Barat itu selama beberapa dekade. Mereka berebut pengaruh pasca-Perang Dingin dan pasokan energi karena Rusia ingin menghentikan upaya Ukraina bergabung dengan aliansi militer NATO.
Steffen Hebestreit, juru bicara pemerintah Jerman, mengatakan kesiagaan maksimum diperlukan karena sejauh ini belum ada penarikan signifikan tentara Rusia. "Para pemimpin itu menyambut baik pernyataan Putin bahwa upaya diplomatik harus dilanjutkan," tambahnya.
Scholz dan Biden menyepakati pentingnya bergerak menuju implementasi perjanjian damai Minsk yang dinegosiasikan oleh Rusia, Ukraina, Prancis, dan Jerman pada 2015 dan untuk membuat kemajuan dalam format Normandia --pengelompokan utusan dari negara-negara yang telah bertemu secara berkala sejak pencaplokan Krimea oleh Rusia pada 2014-- dengan dukungan Jerman dan Prancis.