REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengatakan Teheran akan terus mengembangkan kapasitas nuklir untuk tujuan damai demi mempertahankan kemerdekaannya. Pernyataan ini disampaikan di tengah negosiasi untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir 2015.
Sejak bulan April tahun lalu Amerika Serikat (AS) menggelar pembicaraan tidak langsung dengan Iran untuk menyelamatkan kesepakatan nuklir yang dikenal Joint Comprehensive Plan of Action. Barat tidak yakin perjanjian itu dapat diselamatkan kecuali kedua belah pihak segera menandatangani kesepakatan.
Iran melanggar ketentuan JCPOA setelah mantan Presiden AS Donald Trump menarik AS dari kesepakatan itu pada tahun 2018 lalu. Beberapa sumber termasuk pejabat Iran mengatakan beberapa hari ke depan sangat penting bagi perundingan ini untuk menentukan apakah perbedaan antara kedua belah pihak dapat dijembatani.
"Cepat atau lambat kami akan membutuhkan kekuatan nuklir damai, bila kita tidak mengejarnya kemerdekaan kami akan rusak," kata Khamenei dalam ceramah yang disiarkan televisi nasional dalam mendukung tim negosiasi Iran di Wina, Kamis (17/2/2022).
"Upaya diplomatik yang dilakukan saudara-saudara revolusioner kita dalam mencoba menghapus sanksi juga bagus tapi tugas utamanya adalah untuk menetralkan sanksi," tambah Khamenei yang merujuk sanksi-sanksi Trump yang masih berlaku.
Sejak tahun 2019 Teheran melanggarkan batasan JCPOA perlahan-lahan. Mereka menumpuk kembali uranium yang diperkaya, meningkatkan kemurnian fisil dan memasang sentrifugal canggih untuk mempercepat produksi.
Perjanjian JCPOA yang ditandatangani 2015 lalu membatasi pengayaan uranium Iran. Sehingga mempersulit negara itu mengembangkan bahan untuk senjata nuklir. Sebagai imbalannya negara-negara Barat mencabut sanksi ekonomi dari negara itu.