REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO - Mayoritas warga Jepang berpendapat program suntikan dosis penguat (booster) vaksin Covid-19 terlalu lambat. Demikian menurut sebuah jajak pendapat yang digelar kantor berita Kyodo. Survei tersebut juga mengungkapkan warga Jepang punya pendapat beragam tentang cara Perdana Menteri Fumio Kishida menangani pandemi, termasuk keputusannya pekan lalu yang melonggarkan aturan perbatasan.
Kemarahan publik terhadap penanganan pandemi ikut menjadi penyebab turunnya pemerintahan Yoshihide Suga, perdana menteri sebelumnya. Kishida kini menghadapi hal yang sama menjelang pemilihan penting di majelis tinggi parlemen pada Juli. Sekitar 73 persen responden dalam jajak pendapat itu selama akhir pekan merasa kemajuan program booster masih terlalu lambat.
Meski demikian, 54,1 persen responden setuju dengan cara Jepang menangani virus corona secara keseluruhan. Hingga Jumat (18/2/2022), baru sekitar 12 persen populasi di negara itu telah menerima dosis booster. Padahal, hampir 30 persen penduduknya berusia 65 tahun ke atas dan berisiko lebih tinggi jika tidak dilindungi dengan booster.
Kishida juga telah berulang kali berjanji untuk mempercepat program tersebut. Kishida pekan lalu mengaku dirinya belum menerima dosis booster, tapi akan mendapatkannya pada awal Maret.
Jepang sejauh ini termasuk negara kaya yang menerapkan pembatasan paling ketat tapi dikecam oleh pelaku bisnis dan pendidikan. Hampir separuh dari responden dalam survei dua hari lewat telepon itu mengatakan "terlalu dini" untuk melonggarkan kendali perbatasan. Perbatasan mulai 1 Maret akan dibuka secara bertahap bagi pengunjung asing, kecuali wisatawan.
Sekitar 45,7 persen mengatakan keputusan itu terlalu cepat, kata Kyodo, sementara 34,9 persen mengatakan tepat dan 16,3 persen menyebutnya sudah terlambat. Secara keseluruhan, dukungan bagi Kishida meningkat sedikit menjadi 56,6 persen meski ketidaksetujuan terhadap pemerintahannya bertambah 2,2 poin menjadi 27,4 persen.