REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan perundingan untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir di Wina telah mencapai "kemajuan yang signifikan." Perundingan tidak langsung antara Amerika Serikat (AS) dan Iran ini digelar di Wina, Austria.
Perundingan tidak langsung ini sudah digelar sejak April tahun lalu. Saat ini negara-negara Barat khawatir program nuklir Iran tidak dapat tidak dapat dipulih ke titik sebelumnya kecuali perjanjian segera ditandatangani.
Khatibzadeh mengatakan meski suda terdapat kemajuan yang signfikan tapi ia juga mecatat "tidak ada yang disepakati sampai semuanya telah disepakati" di perundingan Wina. Dalam konferensi mingguan ia mengatakan isu-isu yang masih tersisa yang paling sulit dibahas.
Khatibzadeh mengatakan badan keamanan tertinggi Iran, Dewan Tertinggi Keamanan Nasional yang mengurus perundingan Wina. Mereka melapor langsung ke Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Pekan lalu dilaporkan rancangan kesepakatan antara AS dan Iran dalam perundingan yang memakan waktu berbulan-bulan sudah hampir selesai. Perundingan ini digelar untuk menghidupkan kembali Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang ditinggalkan mantan Presiden AS Donald Trump tahun 2018 lalu.
Teks rancangan kesepakatan itu menyinggung beberapa isu termasuk miliar dolar AS milik Iran di bank-bank Korea Selatan (Korsel) dan pembebasan tahanan Barat di Iran. Pada Sabtu (19/2/2022) lalu Kementerian Luar Negeri Iran mengatakan Iran siap bertukar tahanan dengan AS.
Iran menambahkan bila AS ingin membuat keputusan politik yang diperlukan. Maka perundingan JCPOA harus berhasil "secepat mungkin."
JCPOA yang disepakati enam anggota permanen Dewan Keamanan PBB plus Jerman pada 2015 lalu mempersulit Teheran mengembangkan materi untuk membangun senjata nuklir. Sebagai gantinya sanksi-sanksi internasional pada Iran dicabut.
Kantor berita semi-resmi Iran, Tasnim melaporkan di sela-sela forum negara-negara penghasil gas di kawasan Arab, Menteri Perminyakan Iran Javad Owji mengatakan sanksi-sanksi itu melanggar hukum internasional. Selain itu juga mengancam keamanan energi global.