REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA - Pakar hak asasi manusia PBB mengecam serangan online terhadap jurnalis perempuan muslim India, Rana Ayyub. Pakar sekaligus pelapor PBB menyerukan diakhirinya serangan online misoginis dan sektarian terhadap jurnalis tersebut dan menyerukan penyelidikan atas pelecehan tersebut.
Rana Ayyub merupakan seorang kritikus sengit Perdana Menteri Narendra Modi dan ideologi nasionalis Hindu dari Partai Bharatiya Janata Party (BJP). Dia kerap menjadi sasaran pelecehan online tanpa henti termasuk ancaman kematian dan pemerkosaan.
"Dia adalah korban dari serangan intensif dan ancaman online oleh kelompok nasionalis Hindu sayap kanan," kata pelapor independen, yang tidak berbicara untuk PBB tetapi diberi mandat untuk melaporkannya, dikutip laman Strait Times, Selasa (22/2).
Kelompok nasionalis Hindu mengatakan serangan ini sebagai tanggapan atas pelaporan Ayyub tentang masalah yang mempengaruhi minoritas Muslim India. Selain itu, Ayyub kerap mengkritik penanganan pemerintah terhadap pandemi Covid-19, dan komentarnya tentang larangan jilbab baru-baru ini di sekolah dan perguruan tinggi di negara bagian Karnataka selatan.
Pelapor PBB mengatakan, bahwa pemerintah India telah gagal untuk mengutuk maupun menyelidiki serangan terhadap jurnalis muslimah tersebut. Ayyub (37 tahun) memulai karirnya sebagai jurnalis investigasi dan menulis sebuah buku yang menuduh Perdana Menteri Narendra Modi terlibat dalam kekerasan sektarian yang mematikan di Gujarat pada 2002, ketika dia menjadi perdana menteri negara bagian. Penyelidik membebaskan Modi dari keterlibatan.
Dia telah menjadi komentator untuk The Washington Post dan media lainnya. Pekan ini, Washington Post mengeluarkan iklan satu halaman penuh yang mengatakan Ayyub menghadapi ancaman hampir setiap hari dan bahwa kebebasan pers sedang diserang di India.
Misi India di PBB di Jenewa mentweet sebagai tanggapan atas pernyataan pelapor, bahwa tuduhan yang disebut pelecehan yudisial tidak berdasar & tidak beralasan. "Memajukan narasi yang menyesatkan hanya menodai reputasi PBB," kata misi India di PBB.
Jurnalis lain juga mengeluhkan peningkatan pelecehan di bawah pemerintahan Modi, yang pemerintahnya dituduh berusaha membungkam liputan kritis. Kelompok hak media Reporters Without Borders (RSF) menempatkan India di peringkat 142 rendah dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia.
Pihaknya mengatakan bahwa di bawah Modi, tekanan telah meningkat pada media untuk mengikuti garis pemerintah nasionalis Hindu. "Kampanye kebencian terkoordinasi yang dilancarkan di jejaring sosial terhadap jurnalis yang berani berbicara atau menulis tentang topik yang mengganggu pengikut Hindutva (ideologi Hindu garis keras) sangat menakutkan dan termasuk seruan agar jurnalis yang bersangkutan dibunuh," menurut RSF. "Kampanye itu sangat keras ketika targetnya adalah perempuan."