REPUBLIKA.CO.ID, TAGKAWAYAN -- Sebuah troli kayu yang didekorasi dengan cerah kini menjadi sekolah di sebuah desa di Filipina Selatan. Diletakkan di rel kereta api, kendaraan sederhana ini membawa empat guru muda, dua di depan dan dua di belakang mendorongnya dengan kaki untuk menemui para siswa.
"Penting bagi kita untuk melakukan ini, apalagi sekarang ada pandemi dan anak-anak tidak dapat melakukan pembelajaran tatap muka," kata salah satu dari sembilan relawan yang mengoperasikan troli Shaira Berdin dalam sebuah wawancara.
Tagkawayan adalah kota berpenduduk sekitar 54.000 orang di provinsi Quezon yang terletak hampir 176 km tenggara Manila. Pelajar jarak jauh di Filipina telah ditantang oleh kurangnya komputer, telepon, dan internet, bersama dengan kualitas pendidikan yang tidak merata. Beberapa anak harus naik ke atap untuk mendapatkan sinyal.
Mendorong troli seperti skuter, para sukarelawan mengajar matematika dan membaca kepada lebih dari 60 anak saat menjalankan program pembelajaran. Mereka berinisiatif mengumpulkan materi pembelajaran dari sumbangan untuk digunakan dalam proses mengajar.
Saat berhenti, para guru mengangkat troli dari rel, mengizinkan penggunaan papan tulis untuk pelajaran mengeja dan beralih ke penghitungan menggunakan kartu. Cara ini juga membuat jalur kereta itu bisa digunakan untuk pengguna lain.
"Sebagian besar relawan ini berasal dari latar belakang miskin. Mereka juga mengalami kesulitan dalam hidup, itulah sebabnya mereka ingin membantu anak-anak yang membutuhkan,” kata guru berusia 26 tahun bernama Samboy de Leon Niala.
Filipina secara bertahap memulai pembukaan kembali sekolah secara bertahap pada November setelah penutupan 20 bulan. Penutupan sekolah itu berimbas kepada hampir 27 juta anak.