REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Inggris pada Kamis (24/2/2022) mengumumkan sanksi baru yang menargetkan bank, perusahaan, entitas, dan individu Rusia.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menggambarkan sanksi itu sebagai "paket sanksi terbesar dan terberat" "yang pernah dilihat Rusia," setelah Moskow meluncurkan intervensi militer ke Ukraina. Memberikan pernyataan di gedung pemerintahan, Johnson mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin adalah "agresor berlumuran darah yang percaya pada penaklukan kekaisaran" dan "selalu bertekad untuk menyerang tetangganya, tidak peduli apa yang kami lakukan."
“Putin tidak akan pernah bisa membersihkan darah Ukraina dari tangannya", ujar dia, seraya menambahkan bahwa Putin akan "dikutuk" di mata dunia dan sejarah.
Johnson mengatakan Inggris akan menargetkan semua bank besar, lima oligarki dan lebih dari 100 perusahaan dan individu Rusia.
Inggris akan membekukan aset semua bank besar Rusia minggu depan, kata perdana menteri negara itu, tetapi dia menambahkan bahwa Bank VTB akan segera melihat "pembekuan aset secara penuh."
Perusahaan pertahanan Rusia Rostec juga akan terkena sanksi baru.
Johnson mengatakan undang-undang akan diperkenalkan untuk memblokir perusahaan-perusahaan besar Rusia untuk meningkatkan keuangan dan menghentikan Rusia dari meningkatkan utang negara di pasar Inggris. Dia mengatakan Inggris akan memperpanjang sanksi ke Belarus karena membantu Rusia dalam intervensi militer ke Ukraina.
Perdana menteri Inggris juga mengatakan pesawat milik Rusia Aeroflot akan dilarang mendarat di Inggris. Awal pekan ini, Inggris telah mengumumkan sanksi terhadap lima bank Rusia dan berbagai individu.
Johnson mengatakan Inggris akan “melawan badai kebohongan Kremlin, dan disinformasi dengan mengatakan yang sebenarnya tentang perang pilihan Putin.” PM Inggris mengatakan dia telah “menyerukan pertemuan para pemimpin NATO, yang akan berlangsung pada Jumat dan saya akan mengumpulkan negara-negara yang berkontribusi pada pasukan ekspedisi bersama, yang dipimpin oleh Inggris dan terdiri dari NATO dan non-anggota NATO.”
Krisis Donbas dan intervensi militer Rusia
“Revolusi Maidan” pada Februari 2014 di Ukraina menyebabkan mantan Presiden Viktor Yanukovych melarikan diri dari negara itu dan pemerintah pro-Barat berkuasa di Ukraina.
Perkembangan itu diikuti pencaplokan wilayah Krimea oleh Rusia secara ilegal dan kelompok separatis di sana mendeklarasikan kemerdekaan di wilayah Donetsk dan Luhansk di Donbas di timur Ukraina, yang keduanya memiliki populasi etnis Rusia yang besar.
Ketika bentrokan meletus antara pasukan separatis yang didukung Rusia dan tentara Ukraina, perjanjian Minsk 2014 dan 2015 ditandatangani di Moskow setelah intervensi kekuatan Barat. Konflik di sana berlangsung selama bertahun-tahun dengan pelanggaran gencatan senjata terus-menerus. Sekitar 14.000 orang tewas dalam konflik di Ukraina timur hingga Februari 2022.
Ketegangan mulai meningkat akhir tahun lalu ketika Ukraina, AS dan sekutunya menuduh Rusia mengumpulkan puluhan ribu tentara di perbatasan Ukraina. Mereka mengklaim Rusia sedang bersiap untuk menyerang tetangga baratnya Ukraina, tuduhan yang secara konsisten ditolak oleh Moskow.
Menantang ancaman sanksi oleh Barat, Moskow secara resmi mengakui Donetsk dan Luhansk sebagai negara merdeka, diikuti dengan dimulainya operasi militer di Ukraina pada Kamis 24 Februari. Putin mengatakan operasi itu bertujuan untuk melindungi orang-orang yang “menjadi sasaran genosida” oleh Kyiv dan “demiliterisasi dan denazifikasi” Ukraina, sambil menyerukan tentara Ukraina untuk meletakkan senjatanya.
Baca juga:
Sebanyak 2000 Ekor Kucing Disterilisasi Setiap Tahunnya
UNHCR Minta Negara Tetangga Ukraina Buka Perbatasan
Wagub Riza Minta Warisan Program Anies Dilanjutkan pada 2023