Jumat 04 Mar 2022 03:42 WIB

Mata rantai Islam dan Muhammadiyah dari Bali Hingga Banyuwangi

Mata rantai Islam dan Muhammadiyah dari Bali Hingga Banyuwangi

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Mata rantai Islam dan Muhammadiyah dari Bali Hingga Banyuwangi - Suara Muhammadiyah
Mata rantai Islam dan Muhammadiyah dari Bali Hingga Banyuwangi - Suara Muhammadiyah

Oleh: Muhammad Ichsan Budi Prabowo

Kawasan ujung timur pulau Jawa dan Bali membentuk sebuah kesatuan historis dalam lintasan zaman, termasuk dalam proses interaksi Muslim di Banyuwangi dan Bali. Hadirnya Muslim di pulau Bali mungkin bersamaan dengan perkembangan Islam yang pada umumnya terjadi pada abad ke 14, namun sebuah momen penting diaspora orang-orang Makasar pasca perang Makasar 1667 yang memunculkan titik-titik permukiman muslim disepanjang pantai utara Jawa hingga beberapa dari mereka tersebar ke Bali untuk mengabdi pada raja-raja setempat dengan memanfaatkan keterampilan militer yang mereka kuasai dengan baik.

Hal ini tampak dalam sebuah keterangan di saat orang-orang Makasar diketahui terlibat dalam pertempuran antara kerajaan Singaraja melawan kerajaan Jembrana (I Wayan Raken: 1979). Diketahui jika senapan sudut/muket yang digunakan oleh pasukan Makasar membawa kemenangan yang cukup signifikan bagi pasukan Jembrana. Atas jasa itulah penguasa Jembrana dibawah pemerintahan I Gusti Alit Takmung mengizinkan komunitas Muslim untuk menetap. Seiring dengan berjalanannya waktu, mulai muncul permukiman-permukiman muslim disepanjang pantai selatan Bali yang bertambah pesat saat terjadi hubungan dengan masyarakat Muslim di Banyuwangi dan Blambangan.

Hubungan antara Banyuwangi dan Bali menguat setelah pada tahun 1850 wilayah Jembrana menjadi regentehap dibawah keresidenan Banyuwangi. Hubungan antar wilayah tersebut kemudian intensif berkat jaringan perdagangan ternak dari Bali dak tekstil dari Banyuwangi. Secara bertahap mengembangkan pelabuhan terbuka seperti Loloan Barat dan Loloan Timur yang diisi oleh komunitas Muslim yang tersusun dari orang-orang keturunan Makasar dan para pendatang dari Jawa. Meskipun masih menjadi minoritas, namun perkembangan masyarakat Islam di Bali bagian selatan cukup mendapat kemajuan setelah masa politik liberal dan politik etis yang maksa aktivitas ekonomi modern dan pendidikan modern secara diterima masyarakat, ini dapat dilihat dari lahirnya Madrasah Islamiyah voor Indie di beberapa daerah seperti Singaraja, Negara, dan Denpasar mendatangkan guru-guru Islam dari Jawa untuk memfasilitasi pendidikan komunitas Muslim.

Mengikuti dengan perkembangan pendidikan Islam modern di komunitas Muslim, dijelaskan dalam buku Menembus Benteng Tradisi: Sejarah Muhammadiyah Jawa Timur Muhammadiyah secara perlahan secara masuk ke wilayah Bali yang berawal dari keberhasilan perkembangan Muhammadiyah di Situbondo dan Banyuwangi yang dirintis sejak tahun 1919. Berawal dari hubungan peradangan oleh pedagang Banyuwangi yang berafiliasi dengan Muhammadiyah seperti H Basuni, H Zaini dan H. Amin mulai melakukan pembicaraan dan tukar pikiran dengan tokoh komunitas muslim di sepanjang pantai selatan Bali.

Tertarik dengan pandangan tersebut kemudian komunitas Muslim di wilayah yang kini menjadi Kecamatan Negara, Kabupatan Jemberana, mengundang seorang guru yang bernama H Abdul Karim Tamimi untuk mengajarkan Muhammadiyah dan gerakan nya. H Abdul Karim Tamimi kemudian membawa rombongan yang mendarat pada bulan Juni tahun 1934 di pelabuhan Cupel/ Muara Pelancak dan berkumpul di Loloan Barat kemudian melanjutkan perjalanan ke wilayah Negara.

Enam bulan setelah memperkenalkan Muhammadiyah di wilayah Negara, kemudian masyarakat muslim di kawasan tersebut mengirimkan surat permohonan pada 29 September untuk mendirikan cabang Muhammadiyah kepada hoofdbestuur yang berkedudukan di Yogyakarta. Hoofdbestuur Muhamamdiyah kemudian segera membalas surat permintaan tersebut dengan Besluit pendirian cabang Muhammadiyah no.522 dengan secara resmi menjadikan Cabang Muhammadiyah Negara di Bali berdiri pada 19 November 1935.

Diantara nama-nama perintis anggota Muhammadiyah di Negara Bali, yaitu H Basuni, Zaini, Hasan Baraas, Yusuf Supardi, Muhaya, Suratmodjo, Suhud, Ali Wasafiah, Muhammad Natsir, dan Abdulrahman. Muhammadiyah Negara kemudian mengembangkan gerakan khususnya dalam bidang pendidikan dan gerakan Kepanduan Hizbul Wathan yang berdiri pada tahun 1935, yang kemudian turut membawa Muhammadiyah berkembang ke wilayah kota Singaraja.

Bersamaan dengan menguatkan gerakan Hizbul Wathan yang populer bagi kalangan muda pada masa tersebut, maka Muhammadiyah cabang Singajara kemudian berdiri pada tahun 1939. Secara langsung Hoofdbestuur Muhammadiyah menugaskan seorang sekretaris mudanya yaitu M Yunus Anis untuk melantik pengurus Muhammadiyah kota Singaraja. Pelantikan dilakukan di gedung bioskop Minas Singaraja yang meresmikan H.M Muchsin seorang saudagar muslim bali dan Mohammad Hasan seorang pegawai Paketvaart Maatschappij untuk menjadi ketua dan wakil (I Ketut Wardana, 1985). Muhammadiyah di Bali kemudian terus mengalami perkembangan yang signifikan pasca kemerdekaan dikarenakan jaringan pendidikan Islam serta munculnya gelombang migrasi dari Madura dan Surabaya, hingga Muhammadiyah juga mendirikan cabang Denpasar yang dirintis pada tahun 1946.

 

Muhammad Ichsan Budi Prabowo, Penulis merupakan mahasiswa Pascasarjana di jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pengalaman menemukan dan meneliti dokumen-dokumen Muhammadiyah dimulai sejak awal kuliah, kini tengah menyelesaikan tugas akhir dan mendalami sumber-sumber sejarah Muhammadiyah khususnya masa kolonial.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement