REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian warga Rusia telah beralih ke aplikasi perpesanan Telegram untuk menjalin percakapan tentang perang negaranya terhadap Ukraina dan mendapatkan berita di luar narasi versi resmi atau disetujui oleh negara. Telegram memang memiliki reputasi perpesanan yang aman.
Hanya saja, reputasi itu tidak sama dengan Signal atau WhatsApp yang memiliki tingkat keamanan tinggi. Sebab, pesan di Telegram tidak dienkripsi ujung ke ujung (end to end) secara default. Enkripsi ujung ke ujung mencegah platform mengetahui isi pesan pengguna.
Sebaliknya, Telegram menggunakan jenis enkripsi berbeda yang tidak melindungi privasi percakapan dari Telegram sendiri. Pengguna Telegram dapat mengaktifkan enkripsi end to end untuk beberapa pesan dengan menjadikannya rahasia.
Enkripsi end to end bisa diatur, namun terbatas pada obrolan satu lawan satu dan tidak diperluas ke pesan grup pribadi. Direktur Keamanan Siber Electronic Frontier Foundation Eva Galperin mengatakan, fakta itu sangat mengkhawatirkan karena pesan grup adalah tempat di mana banyak pengorganisasian melawan perang di Rusia terjadi.
Selain warga Rusia, warga Ukraina juga menggunakan Telegram dan aplikasi Signal. Namun, masalah keamanan siber mungkin kurang diperhatikan oleh mereka yang berada di bawah ancaman pengeboman.
Hal itu membuat Galperin khawatir beberapa pengguna Telegram di Rusia mungkin rentan terhadap informasi pribadi mereka terungkap dalam beberapa cara. Pertama, bisa jadi pemerintah Rusia mungkin menuntut agar Telegram menyerahkan informasi pengguna.
Galperin menyebut menggunakan Telegram berarti percakapan pengguna tidak terlindungi dari platform itu. Sebab, semua data tersedia untuk Telegram sebagai perusahaan.
"Anda pada dasarnya tak punya pilihan selain mempercayai Telegram untuk tidak menyerahkannya," kata Galperin.