REPUBLIKA.CO.ID, LVIV -- Lebih dari 200 anak dievakuasi dari panti asuhan di zona konflik di Ukraina. Anak-anak yatim piatu itu tiba di Kota Lviv pada Sabtu (6/3/2022) setelah menempuh perjalanan selama 24 jam dengan kereta bersama pengasuh mereka.
Sebanyak 215 anak mulai dari balita hingga remaja meninggalkan panti asuhan di Zaporizhzhia, di selatan Ukraina. Di hari ketika pasukan Rusia menyerang pembangkit listrik tenaga nuklir.
"Hari saya hancur berkeping-keping," kata direktur Pusat Panti Asuhan Kristen Zaporizhzhia Olha Kucher sebelum akhirnya menangis. "Maaf saya hanya kehilangan kata-kata, dan saya sangat kasihan pada anak-anak ini, mereka masih sangat kecil," tambahnya.
Saat malam hari tiba dan suhu udara menurun, anak-anak menunggu di peron stasiun kereta Lviv dengan sabar. Anak-anak yang lebih tua menjaga yang muda, sementara staf panti menghitung mereka dengan hati-hati. Anak-anak yang masih sangat kecil menggenggam erat mainan mereka.
Tidak ada satu anak pun yang menangis atau mengeluh. Vladimir Kovtun mengatakan kini ia sudah merasa lebih aman.
"Sangat menakutkan untuk tetap tinggal di Zaporizhzhia ketika sirene serangan udara berbunyi dan kami harus terus menerus bersembunyi di ruang bawah tanah," kata remaja 16 tahun itu.
Dengan mata yang awas dan bergandengan tangan, anak-anak itu dituntun berjalan melalui pos pemeriksaan tiket oleh warga Ukraina lainnya. Walikota Lviv Andriy Sadovy mengatakan pada Jumat (4/3/2022) lalu lebih dari 65 ribu pengungsi melewati stasiun kereta itu.
Kemudian saat salju turun, anak-anak naik ke bus-bus yang akan membawa mereka ke rumah baru mereka di Polandia. Butuh beberapa jam sebelum mereka menyeberangi perbatasan. Bagi direktur panti Kucher perjalanan yang penuh emosi: sedih, lega, dan marah ini memberi prospek keselamatan pada anak-anaknya.
"Kami tidak ingin meninggalkan Ukraina, kami mencintainya, tapi sayangnya kami harus pergi," katanya.
Saat anak terakhir naik ke dalam bus, Kucher mengatakan Putin hanya membunuh orang-orang. "Saya tidak mengerti mengapa orang Rusia tidak percaya kami dibombardir, kami dan anak-anak kami dibunuh," katanya.